Bentuk gangguan tersebut salah satunya dalam bentuk pengaduan-pengaduan tentang perilaku hakim.
Dalam Konsideran UU No 22 Tahun 2011 dirumuskan bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pengusulan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal ini tidak terlepas dari ketentuan konstitutional yang diatur dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu dalam menjalankan perannya, Komisi Yudisial memanggul dua kewenangan, yaitu “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mempunyai wewenang: Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan; Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung; Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Diperjelas dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 mengatur bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim.
Pengawasan terhadap Hakim oleh Komisi Yudisial sebenarnya sangat diharapkan oleh masyarakat, yang tidak mendapatkan akses keadilan dalam berbagai putusan hakim.
Sayangnya kewenangan KY kemudian dipangkas oleh Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 menyatakan inkonstitusionalitas payung hukum wewenang pengawasan Komisi Yudisial yang tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa segala ketentuan Undang-Undang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).
Sebagaimana diketahui, ketentuan-ketentuan yang diputus bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi itu merupakan pasal-pasal inti (core provisons) Undang-Undang Komisi Yudisial, sehingga mengakibatkan: (1) hakim konstitusi tidak termasuk hakim yang perilaku etiknya harus diawasi Komisi Yudisial; dan (2) Komisi Yudisial tidak lagi mempunyai wewenang pengawasan.
Sedari awal ketika revisi UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dilakukan, telah disadari bahwa salah satu kelemahan Komisi Yudisial dalam melakukan fungsi pengawasan hakim adalah produk pengawasannya hanya berupa rekomendasi yang sifatnya tidak imperatif.
Muncul perdebatan kemudian agar wewenang tersebut dikuatkan sehingga fungsi pengawasan eksternal Komisi Yudisial lebih efektif.
Sayangnya, problem tersebut gagal disikapi secara serius oleh pembentuk undang-undang. Dalam UU Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial pada Pasal 22D ayat (1) hanya mengatur, dalam hal dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim dinyatakan terbukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22C huruf a, Komisi Yudisial mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap hakim yang diduga melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Agung.
Selanjutnya dalam ayat (3) dijelaskan, Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi terhadap hakim yang melakukan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal ususlan diterima.
Sementara dalam Pasal 22E ayat (1) mengatur, dalam hal tidak terjadi perbedaan pendapat antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung mengenai usulan Komisi Yudisial tentang penjatuhan sanksi dan Mahkamah Agung belum menjatuhkan sanksi dalam jangka waktu Yudisial berlaku secara otomatis dan wajib dilaksanakan oleh Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D ayat (3) maka usulan Komisi Yudisial berlaku secara otomatis dan wajib dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.
Dalam siaran pers, Komisi Yudisial menjatuhkan sanksi kepada 85 hakim karena terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) pada Januari hingga November 2021.
Adapun rincian hakim yang terbukti melanggar KEPPH, yaitu: 64 hakim dijatuhi sanksi ringan, 14 hakim dijatuhi sanksi sedang, dan 7 hakim dijatuhi sanksi berat.
Hal ini berarti, 45 persen dari hakim yang diperiksa KY telah diputuskan terbukti dan mendapatkan rekomendasi sanksi, yang kecenderungannya naik sekitar 40,12 persen pada tahun 2020 dan 27 persen pada 2019.
Sanksi sedang, yaitu: penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala selama satu tahun untuk 5 hakim, penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun untuk 1 hakim, dan hakim nonpalu selama enam bulan untuk 8 hakim.