Mahkamah menilai, UU tersebut cacat formil lantaran dalam proses pembahasannya tidak sesuai dengan aturan dan tidak memenuhi unsur keterbukaan.
Meski pembuat undang-undang sudah melakukan pertemuan dengan beberapa pihak untuk kepentingan penyusunan UU, namun, pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap substansi undang-undang.
Baca juga: Jokowi Teken Perppu Cipta Kerja, Penggugat: Pembangkangan terhadap Konstitusi!
Dalam putusannya, MK memberi waktu dua tahun untuk pembuat undang-undang memperbaiki UU Cipta Kerja, terhitung setelah putusan dibacakan.
Artinya, apabila dalam jangka waktu dua tahun itu tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkonstitusional bersyarat secara permanen.
"Apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk Undang-Undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, maka Undang-Undang atau pasal-pasal atau materi muatan Undang-Undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan dalam sidang, Kamis (25/11/2021).
Setahun pascaputusan MK, pemerintah tiba-tiba menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Aturan itu diteken Presiden Jokowi pada Jumat (30/12/2022).
"Dengan keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini diharapkan kepastian hukum bisa terisi dan ini menjadi implementasi dari putusan MK," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat.
Baca juga: Aturan PHK Karyawan, Benarkah UU Cipta Kerja Mudahkan Pemecatan?
Airlangga mengatakan, putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat telah memengaruhi perilaku dunia usaha dalam dan luar negeri yang menunggu keberlanjutan UU tersebut. Oleh sebab itu, pemerintah menilai perlu ada kepastian hukum dari UU tersebut.
Selain itu, kata Airlangga, Perppu Cipta Kerja juga mendesak diterbitkan karena Indonesia dan semua negara tengah menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim.
"Pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak, pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait ekonomi," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.