Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Panjang UU Cipta Kerja: Tuai Penolakan, Dinyatakan Inkonstitusional, Kini Presiden Terbitkan Perppu

Kompas.com - 30/12/2022, 17:58 WIB
Fitria Chusna Farisa

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Hampir tiga tahun terakhir, Undang-Undang Cipta Kerja seolah tak pernah lepas dari kontroversi.

Sejak awal perumusannya, rancangan aturan itu banyak menuai penolakan. Kendati demikian, pemerintah tetap melalukan pengesahan.

Dalam perjalanannya, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca juga: Jokowi Teken Perppu Cipta Kerja, Gantikan UU yang Inkonstitusional Bersyarat

Menindaklanjuti putusan tersebut, Presiden Joko Widodo baru-baru ini menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang lama.

Berikut perjalanan UU Cipta Kerja sejak awal dirumuskan hingga kini terbit perppu omnibus law itu.

Perumusan

Gagasan tentang omnibus law pertama kali diungkap Presiden Jokowi dalam pidato pelantikannya sebagai presiden RI periode kedua, 20 Oktober 2019.

Saat itu, presiden bilang, omnibus law diperlukan untuk mengatasi tumpang tindih regulasi di Tanah Air, terutama yang berkaitan dengan investasi dan lapangan kerja.

"Puluhan undang-undang yang menghambat penciptaan lapangan kerja langsung direvisi sekaligus," kata Jokowi di Gedung DPR/MPR, Jakarta.

Tak lama setelah itu, Jokowi langsung memerintahkan jajarannya menyusun draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Kilat, draf RUU tersebut dinyatakan rampung oleh pemerintah pada 12 Februari 2020.

Baca juga: Pemerintah Klaim Perppu Cipta Kerja Sudah Dikonsultasikan dengan Stakeholders Terkait

Setelahnya, bola bergulir di DPR. RUU Cipta Kerja mulai dibahas oleh legislator pada 2 April 2020.

Namun, sejak awal, rancangan aturan ini menuai penolakan dari berbagai kalangan, khususnya kaum buruh. Aksi unjuk rasa penolakan RUU Cipta Kerja digelar di banyak tempat.

RUU ini dikhawatirkan merugikan hak-hak kaum pekerja dan menguntungkan pengusaha.

Merespons penolakan ini, 24 April 2020, Jokowi sempat mengumumkan penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja khusus klaster ketenagakerjaan.

Namun, penundaan itu hanya berlangsung lima bulan saja. Pada 25 September 2020, DPR dan pemerintah kembali membahas RUU tersebut, termasuk aturan klaster ketenagakerjaan.

Dikebut hingga disahkan

Pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR pun dikebut. Untuk meloloskan aturan tersebut menjadi UU, anggota dewan sampai rela menggelar rapat maraton.

Dalam tujuh bulan saja, setidaknya diselenggarakan rapat membahas RUU Cipta Kerja sebanyak 64 kali, termasuk pada dini hari, akhir pekan, hingga saat masa reses.

Baca juga: Jokowi Teken Perppu Cipta Kerja, Airlangga: Kebutuhan Mendesak

Berjalan mulus, pembahasan RUU ini rampung dan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan sebagai UU pada 5 Oktober 2020.

Para buruh lagi-lagi menggelar aksi untuk menolak pengesahan tersebut. Presiden pun sempat memanggil dua pimpinan serikat buruh ke Istana, yakni Presiden KSPI Said Iqbal dan Presiden KSPSI Andi Gani.

Namun, pertemuan itu tak mengubah apa pun. Rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU tetap digelar di Gedung DPR.

Dalam rapat itu, Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tetap pada sikapnya menolak RUU sapu jagat tersebut.

Namun, suara dua fraksi itu kalah oleh tujuh fraksi lainnya yang mendukung pengesahan RUU ini, yakni PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Baca juga: Mahfud Klaim Perppu Cipta Kerja Gugurkan Status Inkonstusional Bersyarat

Akhirnya, tepat 5 Oktober 2020, UU Cipta Kerja disahkan. Sebulan setelahnya atau 2 November 2020, Presiden Jokowi menandatangani aturan tersebut.

Beleid yang dicatat dalam lembaran negara sebagai UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu resmi berlaku sejak 2 November 2020.

Inkonstitusional bersyarat

Kendati sudah disahkan, UU Cipta Kerja terus banjir kritik. Masyarakat, khususnya kaum buruh dan mahasiswa dari berbagai daerah turun ke jalan untuk memprotes UU yang dianggap merugikan pekerja itu.

Kaum buruh sempat meminta presiden membatalkan UU tersebut dengan menerbitkan perppu. Namun, Jokowi menolak.

Kepala negara berdalih, UU Cipta Kerja dibutuhkan untuk membuka peluang investasi dan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. UU itu juga disebut diperlukan untuk menyederhanakan sistem perizinan berusaha yang diyakini mampu mencegah praktik korupsi.

Jokowi pun kala itu mempersilakan pihak-pihak yang menolak UU Cipta Kerja mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Sistem ketatanegaraan kita memang mengatakan seperti itu. Jadi kalau masih ada yang tidak puas dan menolak silahkan diajukan uji materi ke MK," katanya, Jumat (9/10/2020).

Benar saja, tak butuh waktu lama, ramai-ramai pihak menggugat UU Cipta Kerja ke MK. Mulai dari kalangan pekerja, akademisi, bahkan mahasiswa.

Uji materi aturan tersebut berlangsung panjang dan baru diputuskan setahun setelah UU Cipta Kerja berlaku, tepatnya 25 November 2021. MK menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat.

Mahkamah menilai, UU tersebut cacat formil lantaran dalam proses pembahasannya tidak sesuai dengan aturan dan tidak memenuhi unsur keterbukaan.

Meski pembuat undang-undang sudah melakukan pertemuan dengan beberapa pihak untuk kepentingan penyusunan UU, namun, pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap substansi undang-undang.

Baca juga: Jokowi Teken Perppu Cipta Kerja, Penggugat: Pembangkangan terhadap Konstitusi!

Dalam putusannya, MK memberi waktu dua tahun untuk pembuat undang-undang memperbaiki UU Cipta Kerja, terhitung setelah putusan dibacakan.

Artinya, apabila dalam jangka waktu dua tahun itu tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkonstitusional bersyarat secara permanen.

"Apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk Undang-Undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, maka Undang-Undang atau pasal-pasal atau materi muatan Undang-Undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan dalam sidang, Kamis (25/11/2021).

Terbitkan Perppu

Setahun pascaputusan MK, pemerintah tiba-tiba menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Aturan itu diteken Presiden Jokowi pada Jumat (30/12/2022).

"Dengan keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini diharapkan kepastian hukum bisa terisi dan ini menjadi implementasi dari putusan MK," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat.

Baca juga: Aturan PHK Karyawan, Benarkah UU Cipta Kerja Mudahkan Pemecatan?

Airlangga mengatakan, putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat telah memengaruhi perilaku dunia usaha dalam dan luar negeri yang menunggu keberlanjutan UU tersebut. Oleh sebab itu, pemerintah menilai perlu ada kepastian hukum dari UU tersebut.

Selain itu, kata Airlangga, Perppu Cipta Kerja juga mendesak diterbitkan karena Indonesia dan semua negara tengah menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim.

"Pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak, pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait ekonomi," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Tanggapi Luhut soal Orang 'Toxic', Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Tanggapi Luhut soal Orang "Toxic", Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Nasional
Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Nasional
Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim 'Red Notice' ke Interpol

Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim "Red Notice" ke Interpol

Nasional
Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Nasional
Anggap 'Presidential Club' Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Anggap "Presidential Club" Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Nasional
Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Nasional
Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Nasional
KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat 'Presidential Club'

Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat "Presidential Club"

Nasional
'Presidential Club' Prabowo Diprediksi Jadi Ajang Dialog dan Nostalgia

"Presidential Club" Prabowo Diprediksi Jadi Ajang Dialog dan Nostalgia

Nasional
Gus Muhdlor Kenakan Rompi Oranye 'Tahanan KPK' Usai Diperiksa 7 Jam, Tangan Diborgol

Gus Muhdlor Kenakan Rompi Oranye "Tahanan KPK" Usai Diperiksa 7 Jam, Tangan Diborgol

Nasional
Adam Deni Hanya Dituntut 1 Tahun Penjara, Jaksa: Sudah Bermaafan dengan Sahroni

Adam Deni Hanya Dituntut 1 Tahun Penjara, Jaksa: Sudah Bermaafan dengan Sahroni

Nasional
Ide 'Presidential Club' Prabowo Diprediksi Bakal Bersifat Informal

Ide "Presidential Club" Prabowo Diprediksi Bakal Bersifat Informal

Nasional
Prabowo Mau Bentuk 'Presidential Club', Ma'ruf Amin: Perlu Upaya Lebih Keras

Prabowo Mau Bentuk "Presidential Club", Ma'ruf Amin: Perlu Upaya Lebih Keras

Nasional
Adam Deni Dituntut 1 Tahun Penjara dalam Kasus Dugaan Pencemaran Nama Baik Ahmad Sahroni

Adam Deni Dituntut 1 Tahun Penjara dalam Kasus Dugaan Pencemaran Nama Baik Ahmad Sahroni

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com