Penyederhanaan aksi di atas karena tak luput dari adanya fatwa yang tersebar dalam jaringan teror.
Tak heran, jika motor yang dikendarai pelaku Agus Sujatno terdapat tulisan “KUHP – Hukum; Syirik/Kafir; Perangi Para Penegak Hukum Setan”.
Membungkus aksinya dengan sekelumit tafsir agama dan menafikan hakikat bahwa semua ciptaan Tuhan turut serta melibatkan manusia dalam proses praktiknya.
Mereka inilah yang disebut oleh Ahmad Syafii Maarif sebagai penganut aliran teologi maut; “berani mati karena tidak berani hidup, dan memonopoli kebenaran bahwa di luar kami haram”.
Maka kontra narasi berbasis agama sangat dibutuhkan dalam konteks Indonesia. Mengapa? Stephen E Flynn, seorang pakar penanggulangan terorisme Amerika Serikat telah mengingatkan bahwa aksi-aksi teror tidak akan pernah padam, bahkan frekuensinya bisa semakin meningkat dan bervariasi.
Frekuensi yang meningkat membutuhkan kedewasaan seseorang dalam beragama dan bernegara. Ketika ilmu agama yang diasup tidak selaras dengan semangat berindonesia, maka potensi kerusakan akan muncul.
Indonesia yang beragam aliran, kelompok dan manhaj ini menuntut para pemuka agama agar mampu mendewasakan umatnya dan memelihara nilai-nilai yang terikat oleh kemanusiaan.
Dalam kata lain, para tokoh agama harus mulai merevitalisasi interpretasi keagamaan yang selaras dengan keindonesiaan. Agar ucapannya tidak menjadi dasar kaum ekstremis dan teroris dalam melancarkan aksinya.
Namun di sisi lain, kita dituntut untuk mudah melakukan cap radikal-teroris terhadap pemuka agama.
Kedua, skema kejahatan terorisme saat ini cukup beragam. Di mana Indonesia memiliki varian kelompok teror yang lebih banyak ketimbang di belahan dunia mana pun.
Ruang siber telah dijadikan area operasi kelompok teror dalam menyebarluaskan pengaruhnya, baik internet maupun media sosial. Semuanya bertujuan menyebarkan rasa takut.
Pembiaran-pembiaran atas narasi provokatif, agitatif dan propaganda (PAP) bisa melahirkan teroris, baik “lone wolf” maupun kelompok kecil.
Zakiah Aini dan Agus Sujatno adalah bukti kecil dari orang Indonesia yang mempelajari sesuatu melalui jaringan internet dan media sosial.
Fakta radikalisasi di media sosial sudah mengkhawatirkan, apalagi tutorial seperti merakit senjata dan membuat bom terpampang lebar.
Hal inilah yang dilakukan seorang tahanan Rocky, dalang yang menewaskan Dirtahti Polda Gorontalo, Beni Mutahir. Dia belajar merakit senjata kurang lebih 20-an dan mengikuti kajian-kajian ISIS di media sosial.