Pembaharuan tersebut juga untuk melengkapi payung hukum dari aspek kenegaraan, yang menjadi payung dalam kegiatan penanggulangan terorisme dan kontra radikal-terorisme di semua lapisan masyarakat.
Kita harus akui bahwa penanganan terorisme yang bertumpu pada “law enforcement” (penegakan hukum) saja tidak cukup. Tindakan preventif yang sudah dimulai, masih membutuhkan keseriusan semua elemen bangsa.
Sasarannya harus diperluas, termasuk kepada perempuan dan generasi muda. Misalnya saja saat ini dalam tubuh generasi muda, menurut data BNPT, sudah ratusan yang terlibat dalam jaringan terorisme.
Perpaduan antara payung hukum dari aspek kenegaraan dan keagamaan dalam pencegahan dan penanggulangan radikal-terorisme merupakan keniscayaan.
Pola kerja preventif yang didasari pada perpaduan ini dapat memutus “staircase to terrorism” (tangga terorisme) secara perlahan-lahan, jika kita konsisten dan gerakannya terukur.
Karena, sebagian besar yang terlibat dalam jaringan teroris melalui sebuah proses yang bertahap, layaknya seseorang naik tangga, dengan faktor yang beragam, termasuk faktor kesalahan dalam memahami dan mengimplementasikan agama.
Dari ragam faktor dan dorongan keterlibatan seseorang, penyalahgunaan agama sangat berbahaya --tanpa menihilkan faktor-faktor lainnya.
Maka antivirus dari aspek agama menjadi penting. Tujuan memutus mata rantai dengan dua payung yang ada akan mudah tercapai.
Di samping itu pula, amanat undang-undang kita telah terselip --meminjam istilah Kadensus 88 Antiteror, Martinus Hukom-- pentingnya tindakan humanis. Mengapa?
Sebab, membunuh satu teroris dengan satu peluru, itu mudah. Namun membunuh “isme” yang dimiliki seorang teroris membutuhkan penanganan yang komprehensif, termasuk aspek penindakan.
Pemikiran yang mendorong seseorang melakukan tindak pidana kekerasan dan terorisme harus dicegah dengan pemikiran juga.
Maka konsep “ghazwul fikri” (perang pemikiran), tidak saja berlaku untuk menangani kelompok transnasional seperti Hizbut Tahrir Indonesia, tetapi juga kelompok teroris dengan semua varian yang ada.
Payung berbasis keagamaan juga bisa menjadi penguatan untuk mereka yang pernah terlibat dalam aksi kekerasan, baik terorisme maupun konflik komunal, agar mereka tidak terlibat kembali, dan bisa menjadi aktor perdamaian dengan payung dan panduan keagamaan yang ada.
Fatwa/Panduan berbasis keagamaan ini juga menjadikan pihak keamanan kuat dalam memegang teguh Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 (PBNU).
Keterlibatan pihak keamanan sudah terjadi beberapa kali, karenanya penguatan wawasan keagamaan yang moderat sangat penting.