Publik hari ini tentu memiliki banyak kecurigaan terhadap segala bentuk drama politik. Masyarakat kita pada akhirnya memaksa politisi untuk bertarung secara terbuka.
Karena tuntutan serius ini membuat politisi akhirnya perbanyak drama dan komedi untuk menghibur partai, diri sendiri, atau bahkan menghibur masyarakat.
Pandangan politik telah bergeser menjadi aksi selebritas para elite. Tidak lagi terletak pada esensi dari demokrasi substansial yang kita harapakan muncul dari wakil-wakil kita.
Menjadi politisi di republik ini harus bisa akting layaknya aktor atau aktris profesional. Karena itu salah satu cara menjawab pertanyaan dan kecurigaan masyarakat dari kasus-kasus serius yang menjerat elite.
Kita tahu bahwa ketika menjelang pemilu, saat di mana politisi menjelma menjadi masyarakat biasa. Bisa disebut pencitraan, bisa juga memang karakter politisi.
Apapun itu layak dilakukan untuk menarik simpati publik. Tidak hanya politisi, partainya pun kompak membangun image agar terkesan populis.
Ujungnya adalah mengatasnamakan rakyat sebagai basis tindakan politik. Pajangan-pajangan populis bertebaran dari kota besar sampai pelosok desa.
Tujuannya cuma satu, bisa dikenal masyarakat. Ini tragedi unik bangsa kita di mana sensasi adalah unsur utama mendapat kepercayaan publik dan bukan kualitas.
Tidak heran jika mantan koruptor tetap bisa mengikuti Pemilu meski hanya dengan syarat ada informasi resmi dari politisi tersebut bahwa pernah dipenjara karena korupsi.
Alasan keikutsertaan politisi korup itu adalah nilai humanisme. Namun pertanyaannya apakah ketika koruptor memakan uang negara untuk keuntungan pribadi dan banyak masyarakat menderita, bukankah tindakan koruptif itu adalah pelanggaran humanisme dan demokrasi?
Pertanyaannya kemudian, apa yang kita dapat dari tayangan lakon – lakon politik di negeri ini? Di tengah ketidakpastian suara rakyat yang katanya di suarakan oleh elite, tetapi kenyataannya suara partai lah yang lebih dominan.
Rakyat hanyalah penonton dengan karcis yang harus dibayar untuk menyaksikan opera komedi. Ujungnya kita telah tau, meskipun cerita seputar politik hanya itu–itu saja.
Kalau bukan politisi yang bikin sensasi, berarti partainya yang bikin gaduh. Ada pindah partai, ada pindah pendukung, ada pindah kepentingan, bahkan pindah hanya karena pernah ditolong.
Tragis memang, tapi di satu sisi inilah komedi yang kita saksikan hampir setiap hari di tengah proses komunikasi para politisi untuk mendapat untung ketika 2024.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.