Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dens Saputra
Dosen

Menulis adalah seni berbicara

Opera Van Java: Komedi Lawas tentang Politik Naik dan Turun Gunung

Kompas.com - 04/10/2022, 10:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

“Di sana gunung di sini gunung di tengah-tengah pulau Jawa, Dalangnya bingung, pemainnya juga bingung yang penting penonton bisa ketawa”.

Kalimat itu adalah sepenggal opening dari cerita komedi Opera Van Java yang hits beberapa tahun lalu.

Bagi para komedian terkadang tragedi adalah sumber potensial untuk menarik penonton tertawa.

Lawakan, sarkasme, dan tingkah lucu ada bungkusan komedi ajaib yang tidak semua orang bisa menampilkannya dalam sekali pentas. Butuh kecerdasan dan koneksi yang baik antara pemain untuk menceritakan kisah lawas bergenre komedi.

Anehnya, para lakon tidak menambal pengetahuan komedi dari bangku-bangku kelas, melainkan didasarkan pada pengalaman hidup yang keras.

Kontestasi politik nasional kita hari ini menjadi bahan ‘ngerumpi’ menarik bagi berbagai kalangan. Tidak pandang umur dan pengalaman, warga negara kita perlahan melek politik.

Artinya, secara tidak langsung pentas politik Nasional memainkan peran penting dalam usaha menyadarkan warga negara sebagai otoritas tertinggi.

Kita tengok saja perdebatan-perdebatan politisi yang sering menyebutkan kata “rakyat” sebagai basis agurmentasi keberpihakan.

Padahal secara kritis kita tahu bahwa politisi sedang memainkan peran untuk mencari simpati. Karena memang, tanpa pencitraan dan pengakuan publik, politisi hanyaah sebuah ambisi bagi para pencari suaka demokrasi.

Tetapi begitulah kontes poltik kita hari ini, ibarat lawak OVJ. Kita tahu akhir cerita itu, tetapi kita menikmati suasana lawak dan penertrasi komedi-komedi setiap lakon.

Sama halnya dengan komedi, butuh pancingan agar lawakan bisa menarik. Begitu juga dengan panasnya arus demokrasi yang tidak terlepas dari pancingan-pancingan menuju Pemilu 2024. Mesin partai perlahan tapi pasti mulai bergerak.

Pekerja-pekerja partai dari level elite sampai simpatisan merapatkan barisan untuk mencari simpati.

Apa lagi kebijakan presidential threshold membuat partai politik makin pusing dan bekerja ekstra untuk dapat mengikuti pemilu 2024 dan mengusung ketua partainya atau tokoh yang dianggap mampu oleh partai itu.

Tentu drama dan cerita politik sedang diputar untuk mengocok perhatian publik, agar partai dan tokoh mendapat simpati. Dinamika ini telah menjadi santapan hari-hari bagi masyarakat kita. Ibarat menonton OVJ sambil mengucah kacang goreng.

Politik “Turun Gunung”

Istilah “turun gunung” yang di lakoni oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi salah satu contoh dari fenomena politik suksesi politisi menuju 2024.

Tentu bagi republik demokratis, istilah ini wajar—wajar saja. Tidak ada narasi konstitusi yang melarang seorang pembina partai untuk turun gunung menyelami polemik bangsa melalui partai.

Tidak bisa ditutup juga kritik dari berbagai kalangan untuk bertanya mengapa seorang SBY turun gunung.

Tentu dua hal ini saling kontradiktif karena kepentingannya berbeda. Anehnya kedua hal itu hidup dan tumbuh subur di negeri ini.

Seorang tokoh entah itu mantan presiden, pensiunan jenderal, maupun politisi senior memiliki pengaruh dengan dampak signifikan di tengah masyarakat. Perkataan meraka akan viral dan menjadi bahan perdebatan.

Dampak terburuknya adalah terjadi perpecahan di kalangan akar rumput antara masing-masing pendukung sebab keterbatasan pengetahuan untuk menyelami maksud dari semiotika yang sedang dimainkan elite bangsa.

Bagi elite, “turun gunung” merupakan tanggung jawab moril untuk memonitoring progres partai dalam persaingan politik.

Apa lagi elite tersebut adalah salah satu pendiri partai yang sebelumnya menjadi partai kuat dengan memenangkan pemilu presiden dua kali berturut-turut.

Kebijakan Presidential Threshold akhirnya mengakibat partai bekerja ekstra untuk menarik simpati publik dan partai lain agar bisa bergabung.

Tidak heran partai dan elitenya menopang partai mereka untuk dapat ikut kontestasi 2024 dengan berbagai drama dan intrik. Tujuannya untuk membangun perhatian publik.

Tidak hanya itu, perhatian partai lain untuk membangun koalisi pun akan tercapai. Karena kebijakan Presidential Threshold mengharuskan partai-partai untuk berkoalisi untuk memenuhi syarat pencalonan pasangan capres-cawapres.

Drama ini menyadarkan kita bahwa pentas politik nasional tidak hanya terjadi pada 2024. Melainkan hari inipun setiap partai hilir mudik untuk mencari koalisi sambil menyebar sensasi agar ambisi bisa tercapai.

Politik antara tragedi atau komedi

Politik Indonesia tidak terlepas dari sensasi dan tragedi. Apapun peristiwanya selalu melahirkan cerita menarik.

Keterbukaan informasi saat ini memberikan dampak luar biasa kepada masyarakat untuk menonton secara langsung aktivitas politik elitenya.

Drama politik tidak lagi hanya di belakang layar, tetapi saat ini dipamerkan terbuka kepada publik. Peristiwa ini menandakan bahwa tuntutan publik sangat kuat untuk memaksa elite lebih terbuka terhadap peristiwa politik.

Tidak berarti bahwa dalam politik kita, peran belakang layar sudah hilang. Justru peran belakang layar inilah yang menggerakan proses politik kita hari ini.

Publik hari ini tentu memiliki banyak kecurigaan terhadap segala bentuk drama politik. Masyarakat kita pada akhirnya memaksa politisi untuk bertarung secara terbuka.

Karena tuntutan serius ini membuat politisi akhirnya perbanyak drama dan komedi untuk menghibur partai, diri sendiri, atau bahkan menghibur masyarakat.

Pandangan politik telah bergeser menjadi aksi selebritas para elite. Tidak lagi terletak pada esensi dari demokrasi substansial yang kita harapakan muncul dari wakil-wakil kita.

Menjadi politisi di republik ini harus bisa akting layaknya aktor atau aktris profesional. Karena itu salah satu cara menjawab pertanyaan dan kecurigaan masyarakat dari kasus-kasus serius yang menjerat elite.

Kita tahu bahwa ketika menjelang pemilu, saat di mana politisi menjelma menjadi masyarakat biasa. Bisa disebut pencitraan, bisa juga memang karakter politisi.

Apapun itu layak dilakukan untuk menarik simpati publik. Tidak hanya politisi, partainya pun kompak membangun image agar terkesan populis.

Ujungnya adalah mengatasnamakan rakyat sebagai basis tindakan politik. Pajangan-pajangan populis bertebaran dari kota besar sampai pelosok desa.

Tujuannya cuma satu, bisa dikenal masyarakat. Ini tragedi unik bangsa kita di mana sensasi adalah unsur utama mendapat kepercayaan publik dan bukan kualitas.

Tidak heran jika mantan koruptor tetap bisa mengikuti Pemilu meski hanya dengan syarat ada informasi resmi dari politisi tersebut bahwa pernah dipenjara karena korupsi.

Alasan keikutsertaan politisi korup itu adalah nilai humanisme. Namun pertanyaannya apakah ketika koruptor memakan uang negara untuk keuntungan pribadi dan banyak masyarakat menderita, bukankah tindakan koruptif itu adalah pelanggaran humanisme dan demokrasi?

Pertanyaannya kemudian, apa yang kita dapat dari tayangan lakon – lakon politik di negeri ini? Di tengah ketidakpastian suara rakyat yang katanya di suarakan oleh elite, tetapi kenyataannya suara partai lah yang lebih dominan.

Rakyat hanyalah penonton dengan karcis yang harus dibayar untuk menyaksikan opera komedi. Ujungnya kita telah tau, meskipun cerita seputar politik hanya itu–itu saja.

Kalau bukan politisi yang bikin sensasi, berarti partainya yang bikin gaduh. Ada pindah partai, ada pindah pendukung, ada pindah kepentingan, bahkan pindah hanya karena pernah ditolong.

Tragis memang, tapi di satu sisi inilah komedi yang kita saksikan hampir setiap hari di tengah proses komunikasi para politisi untuk mendapat untung ketika 2024.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan 'Presidential Club'

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan "Presidential Club"

Nasional
Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Nasional
Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya 'Clean and Clear'

Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya "Clean and Clear"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com