Tentu bagi republik demokratis, istilah ini wajar—wajar saja. Tidak ada narasi konstitusi yang melarang seorang pembina partai untuk turun gunung menyelami polemik bangsa melalui partai.
Tidak bisa ditutup juga kritik dari berbagai kalangan untuk bertanya mengapa seorang SBY turun gunung.
Tentu dua hal ini saling kontradiktif karena kepentingannya berbeda. Anehnya kedua hal itu hidup dan tumbuh subur di negeri ini.
Seorang tokoh entah itu mantan presiden, pensiunan jenderal, maupun politisi senior memiliki pengaruh dengan dampak signifikan di tengah masyarakat. Perkataan meraka akan viral dan menjadi bahan perdebatan.
Dampak terburuknya adalah terjadi perpecahan di kalangan akar rumput antara masing-masing pendukung sebab keterbatasan pengetahuan untuk menyelami maksud dari semiotika yang sedang dimainkan elite bangsa.
Bagi elite, “turun gunung” merupakan tanggung jawab moril untuk memonitoring progres partai dalam persaingan politik.
Apa lagi elite tersebut adalah salah satu pendiri partai yang sebelumnya menjadi partai kuat dengan memenangkan pemilu presiden dua kali berturut-turut.
Kebijakan Presidential Threshold akhirnya mengakibat partai bekerja ekstra untuk menarik simpati publik dan partai lain agar bisa bergabung.
Tidak heran partai dan elitenya menopang partai mereka untuk dapat ikut kontestasi 2024 dengan berbagai drama dan intrik. Tujuannya untuk membangun perhatian publik.
Tidak hanya itu, perhatian partai lain untuk membangun koalisi pun akan tercapai. Karena kebijakan Presidential Threshold mengharuskan partai-partai untuk berkoalisi untuk memenuhi syarat pencalonan pasangan capres-cawapres.
Drama ini menyadarkan kita bahwa pentas politik nasional tidak hanya terjadi pada 2024. Melainkan hari inipun setiap partai hilir mudik untuk mencari koalisi sambil menyebar sensasi agar ambisi bisa tercapai.
Politik Indonesia tidak terlepas dari sensasi dan tragedi. Apapun peristiwanya selalu melahirkan cerita menarik.
Keterbukaan informasi saat ini memberikan dampak luar biasa kepada masyarakat untuk menonton secara langsung aktivitas politik elitenya.
Drama politik tidak lagi hanya di belakang layar, tetapi saat ini dipamerkan terbuka kepada publik. Peristiwa ini menandakan bahwa tuntutan publik sangat kuat untuk memaksa elite lebih terbuka terhadap peristiwa politik.
Tidak berarti bahwa dalam politik kita, peran belakang layar sudah hilang. Justru peran belakang layar inilah yang menggerakan proses politik kita hari ini.