“Air sudah jelas maknanya, padang rumput dapat dipahami tanaman pangan, dan api bermakna energi,” jelas Syafi’ie.
Lebih lanjut ia mengatakan, Rasulullah telah mengajarkan bahwa sumber air, pangan, dan energi harus dimiliki secara berserikat.
Pada dasarnya, sebut Syafi’ie, ketiga hal penting tersebut tidak boleh dimiliki secara perorangan atau kelompok orang.
Oleh karenanya, sumber air, pangan, dan energi tidak boleh diprivatisasi dan dimonopoli. Ketiganya adalah milik publik karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
Baca juga: Napak Tilas 7 Mata Air di Magetan, Upaya Mengajak Warga Menjaga Sumber Air
“Itulah mengapa konstitusi negeri ini pun mengaturnya, sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (NRI) 1945 Pasal 33 Ayat 3,” imbuh Syafi’ie.
Adapun Pasal 33 Ayat 3 berisi tentang bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Meski demikian, kata Syafi’ie, terjadi privatisasi air, pangan, dan energi di Indonesia.
“Berapa banyak sumber air, pangan, dan energi yang telah dikuasai perusahaan swasta? Perusahaan swasta tersebut telah mengeruk banyak keuntungan dari kekayaan alam negeri ini,” ucapnya.
Perusahaan swasta, imbuh dia, mengeruk keuntungan bukan untuk distribusi kesejahteraan, melainkan untuk kekayaan pribadi.
Baca juga: Demi Sukseskan Vaksinasi Anak SD, 3 Perusahaan Swasta Gotong Royong
Ia menilai, air, pangan, dan energi serta manfaatnya bisa dinikmati dan distribusi secara adil dan merata kepada seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya perusahaan swasta atau kelompok orang.
“Sebagai solusi, diperlukan pendekatan anti-mainstream dalam mengelola dan memanfaatkan sumber air, pangan, dan energi untuk kemaslahatan umat,” tutur Syafi’ie .
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.