Itulah setidaknya yang disampaikan Gibran kepada RG ketika didesak untuk maksud apa menemuinya.
Perjumpaan dua tokoh beda generasi tersebut tentu menjadi menarik setidaknya dengan dua catatan:
Pertama, RG sangat kritis dan bahkan sering menggunakan diksi “dungu” untuk menyebut orang yang berseberangan dengan pemikirannya atau setidaknya dinilai “kurang sehat” dalam bernalar.
Sikap kritis beliau terutama dialamatkan kepada para pemangku kekuasaan termasuk kalangan Istana.
Kedua, RG telah memberikan pembelajaran komunikasi yang baik dengan tidak antipati terhadap Istana.
Beliau tidak suka dengan cara berpikir orang-orang Istana, tapi tidak benci kepada orang (personanya).
Ini menjadi penting bahwa ketidaksukaan terhadap seseorang hendaklah ketidaksukaan atas pikiran, sikap dan tindakannya, bukan pada oknumnya meski agak sulit sebenarnya untuk memisahkan.
Implikasi dari sikap ini adalah keberpihakan kita kepada sesuatu atau katakanlah seseorang bukan pada pribadi (personanya), namun kepada pikiran, sikap dan tindakannya. Hal demikian akan membangun dan memelihara sikap kritis kita kepada siapapun.
Kita tidak boleh fanatik buta kepada seseorang katakanlah pemimpin tanpa reserve, pejah gesang nderek panjenengan (hidup atau mati ikut seseorang), benar salah tetap didukung dan dibela mati-matian dan seterusnya.
Terlepas dari soal, misalnya, Istana sedang melakukan diplomasi kepada rakyat yang notabene sedang menjerit dampak dari kebijakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM), tentu dari muatan perbincangan dan itu setidaknya yang terpublikasi, maka Gibran sesungguhnya sebagai seorang pribadi (persona) sedang mengasah kecerdasan interpersonalnya.
Bahkan dengan gesit perjumpaannya dengan RG dimanfaatkan untuk menjalin kehangatan kepada follower-nya dengan membagi-bagikan sneaker yang hal demikian dapat dilihat sebagai bentuk kecerdasan finansial ala generasi milenial.
Esensi dari perjumpaan Gibran dengan RG yang pasti hanya Tuhan dan para pihak di balik pertemuan tersebut, yang mengetahui maksud sebenarnya.
Namun setidaknya Gibran sebagai anak muda yang sedang mendapat tugas (pembelajaran praksis) dari sang ayah untuk menjalani laku sebagai politisi dan juga tentu mayoritas masyarakat Solo memilih sebagai pemimpin mereka, tentu pada akhirnya proses pembelajaran politik dengan terjun langsung dalam politik praktis tersebut akan ditentukan pada bagaimana dapat menjalankan tugas dan amanah itu sampai paripurna.
Apakah Gibran sebagai bagian dari Istana untuk melakukan misi diplomasi kepada tokoh yang sangat intens melayangkan kritik kepada Istana, atau Gibran sedang menegaskan kesungguhannya untuk berguru kepada RG, tentu menjadi bagian pelajaran penting yang bermakna dalam proses kehidupan personal dan politiknya kedepan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.