Aku duduk di sebelahnya dan bertanya: “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Ia terkejut, lalu menatapku. Namun saat melihat tidak ada dokter di sana, ia menjawab:
“Sederhana saja. Ayahku, seorang pengacara terkenal, ingin aku menjadi seperti dirinya. Pamanku, yang memiliki toko besar, berharap aku mencontoh dirinya. Ibuku ingin aku seperti ayahnya. Kakak perempuanku selalu membandingkan suaminya di depanku sebagai contoh laki-laki yang sukses. Kakak laki-lakiku berusaha melatihku untuk menjadi seorang atlet yang baik seperti dirinya."
"Dan hal yang sama terjadi di sekolahku, juga oleh guru pianoku, juga oleh guru Bahasa Inggrisku. Semuanya meyakinkan dan menegaskan bahwa merekalah contoh terbaik untuk diikuti. Tidak seorang pun yang melihatku sebagai seseorang, tetapi sebagai sebuah cermin. Lalu kuputuskan untuk masuk karantina ini. Setidaknya di sini aku bisa menjadi diriku sendiri.”
Itulah sepenggal kisah tentang arti penting sebuah kebebasan bagi seseorang (anak) untuk menentukan menjadi apa dan siapa yang ditulis oleh seorang filsuf pejuang “cinta” Kahlil Gibran yang dituturkan kembali oleh Fahrudin Faiz (2015) dalam serial ngaji filsafatnya ketika membedah pemikiran dan gagasan Kahlil Gibran.
Dalam kehidupan sehari-hari, cerita Gibran ini seringkali nampak – untuk tidak menyebut selalu – bahkan diimplementasikan dalam sebuah sistem pendidikan.
Hampir semua pendidik (guru, dosen, ustadz) “memaksa” para peserta didik (pelajar) menjadi seperti dirinya. Padahal setiap anak manusia memiliki potensi kecerdasan beragam (multyple intelligence) yang tentu berbeda antara satu dengan lainnya
Tugas para pendidik termasuk para penyelenggara pendidikan secara umum hendaknya memastikan bahwa apa yang dilakukan adalah dalam rangka mendampingi peserta didik (pelajar) untuk bertumbuh sesuai dengan potensi kecerdasannya masing-masing.
Pada akhirnya apa yang diperoleh dari guru dan lembaga pendidikan itu kemudian dapat digunakan sebagai bekal menghadapi kehidupan nyata dengan segala kompleksitas persoalannya.
Kompleksitas kehidupan tentu akan menjadi persoalan tersendiri ketika, misalnya, hanya diselesaikan dengan sistem pendidikan yang seringkali “memaksa” peserta didik untuk menjadi “seseorang” dengan prototipe tertentu yang seringkali menjadi tidak jelas.
Sampai di sini dapat kita pahami mengapa kemudian Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim menggagas tentang merdeka belajar.
Di antara poin penting dari gagasan Mas Menteri tersebut adalah dengan memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil kuliah tiga semester di luar program studi, meskipun kemudian ketika mengambil kuliah masih dari yang satu rumpun keilmuan tentu belum dapat mendekati kepada apa yang menurut hemat saya menjawab persoalan mendasarnya.
Diplomasi dan komunikasi Istana
Istana atau lebih tepat orang-orang yang identik dengan Istana telah membuka diri, bahkan menjalin komunikasi yang cukup menarik dengan mendatangi kritikus Rocky Gerung (RG) yang lebih dikenal sebagai filsuf.
Setelah Pak Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan bertemu dengan RG dan terlibat pembicaraan yang hangat dalam sebuah podcast, giliran Putra Sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang juga Wali Kota Solo bertandang ke kediaman RG untuk berguru.
Itulah setidaknya yang disampaikan Gibran kepada RG ketika didesak untuk maksud apa menemuinya.
Perjumpaan dua tokoh beda generasi tersebut tentu menjadi menarik setidaknya dengan dua catatan:
Pertama, RG sangat kritis dan bahkan sering menggunakan diksi “dungu” untuk menyebut orang yang berseberangan dengan pemikirannya atau setidaknya dinilai “kurang sehat” dalam bernalar.
Sikap kritis beliau terutama dialamatkan kepada para pemangku kekuasaan termasuk kalangan Istana.
Kedua, RG telah memberikan pembelajaran komunikasi yang baik dengan tidak antipati terhadap Istana.
Beliau tidak suka dengan cara berpikir orang-orang Istana, tapi tidak benci kepada orang (personanya).
Ini menjadi penting bahwa ketidaksukaan terhadap seseorang hendaklah ketidaksukaan atas pikiran, sikap dan tindakannya, bukan pada oknumnya meski agak sulit sebenarnya untuk memisahkan.
Implikasi dari sikap ini adalah keberpihakan kita kepada sesuatu atau katakanlah seseorang bukan pada pribadi (personanya), namun kepada pikiran, sikap dan tindakannya. Hal demikian akan membangun dan memelihara sikap kritis kita kepada siapapun.
Kita tidak boleh fanatik buta kepada seseorang katakanlah pemimpin tanpa reserve, pejah gesang nderek panjenengan (hidup atau mati ikut seseorang), benar salah tetap didukung dan dibela mati-matian dan seterusnya.
Terlepas dari soal, misalnya, Istana sedang melakukan diplomasi kepada rakyat yang notabene sedang menjerit dampak dari kebijakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM), tentu dari muatan perbincangan dan itu setidaknya yang terpublikasi, maka Gibran sesungguhnya sebagai seorang pribadi (persona) sedang mengasah kecerdasan interpersonalnya.
Bahkan dengan gesit perjumpaannya dengan RG dimanfaatkan untuk menjalin kehangatan kepada follower-nya dengan membagi-bagikan sneaker yang hal demikian dapat dilihat sebagai bentuk kecerdasan finansial ala generasi milenial.
Esensi dari perjumpaan Gibran dengan RG yang pasti hanya Tuhan dan para pihak di balik pertemuan tersebut, yang mengetahui maksud sebenarnya.
Namun setidaknya Gibran sebagai anak muda yang sedang mendapat tugas (pembelajaran praksis) dari sang ayah untuk menjalani laku sebagai politisi dan juga tentu mayoritas masyarakat Solo memilih sebagai pemimpin mereka, tentu pada akhirnya proses pembelajaran politik dengan terjun langsung dalam politik praktis tersebut akan ditentukan pada bagaimana dapat menjalankan tugas dan amanah itu sampai paripurna.
Apakah Gibran sebagai bagian dari Istana untuk melakukan misi diplomasi kepada tokoh yang sangat intens melayangkan kritik kepada Istana, atau Gibran sedang menegaskan kesungguhannya untuk berguru kepada RG, tentu menjadi bagian pelajaran penting yang bermakna dalam proses kehidupan personal dan politiknya kedepan.
https://nasional.kompas.com/read/2022/09/26/06215611/dua-gibran-merdeka-belajar-dan-diplomasi-istana