SEPERTI menjadi gaya hidup baru yang mulai menggeser pamor bersepeda, kegiatan naik turun gunung atau hikking kini menjadi olahraga yang digemari warga kota.
Bagi warga Ibu Kota Jakarta, kawasan perbukitan Sentul di daerah Bogor menjadi ajang pemula untuk kegiatan naik turun gunung.
Jika ingin menantang, Gunung Semeru di Jawa Timur atau Gunung Gede di Jawa Barat menjadi uji nyali berikutnya.
Jika masih ragu naik gunung, bisa uji coba ke Gunung Sahari dekat Pasar Senen – Pasar Baru di Jakarta.
Berbeda dengan pentas politik nasional, “turun-naik” gunung kini menjadi perdebatan panas yang menarik.
Bermula dari rekaman video Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang wanti-wanti akan turun gunung mengingat ada tendensi pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 penuh dengan kecurangan (Kompas.com, 17/09/2022).
Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu mengaku mendengar kabar ada tanda-tanda bahwa Pemilu 2024 akan diselenggarakan dengan tidak jujur dan tidak adil.
Kontan saja, penyataan SBY yang diduga dilakukan saat acara Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat itu membuat pamor “turun” gunung menjadi terangkat lagi.
Bahkan menurut sinyalemen SBY, di Pemilihan Presiden (Pilpres) nanti sudah disetting pesertanya hanya dua pasang capres-cawapres saja yang dikehendaki oleh pihak tertentu.
Seperti ingin meramaikan jagat perseteruan antara pesulap merah dan para dukun, kali ini SBY justru bukan bertindak sebagai dukun yang bisa meramal siapa yang akan maju di pentas calon pemimpin negeri ini.
Konstelasi pembentukan koalisi partai-partai, alih-alih penetapan capres-cawapres masih begitu cair dan fleksibel.
Seperti gayung bersambut karena jelas “sasaran” SBY adalah pihak penguasa, salah satu partai politik pengusung terkuat Presiden Joko Widodo, yakni PDIP langsung bereaksi.
Malah Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sambil berseloroh menyebut, sejak kapan SBY naik gunung?
Jika SBY ingin turun gunung untuk melakukan tudingan terhadap pemerintah Jokowi maka giliran PDIP yang akan naik gunung agar bisa melihat jelas apa yang dilakukan SBY selama ini (Kompas.com, 17/09/2022).
Kembali, pamor “naik” gunung terangkat usai para politisi itu saling berbalasan komentar. Ranah pertarungan para elite partai tidak saja berlangsung di gedung parlemen dan sahut menyahut di media, tetapi medan kurusetra dialihkan ke gunung.
Gunung yang menjadi “teman” para pendaki dan pecinta alam, seolah dijadikan idiom politik yang penuh dengan kebencian.
Saya khawatir, jelang “pesta” demokrasi di 2024 nanti tensi politik sedemikian memanas. Elite-elite partai akan menggunakan wahana pertarungan tidak saja di darat (parlemen), di udara (media sosial) tetapi juga mulai merambah hingga gunung, lautan bahkan kuburan pun akan disasar sepertinya.
Saling sengkarut antara elite partai oposisi dan elite rulling party atau Demokrat vis a vis dengan PDIP mengingatkan saya tentang elite dan kekuasaan.
Varma (2001) berargumen apa yang mendorong elite politik atau kelompok-kelompok elite untuk memainkan peranan aktif dalam politik adalah karena menurut para teoritisi politik ada dorongan kemanusiaan yang tidak dapat dihindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan.
Politik merupakan permainan kekuasaan dan karena para individu menerima keharusan untuk melakukan sosialisasi serta penanaman nilai-nilai guna menemukan ekspresi bagi pencapaian kekuasaan tersebut.
Keinginan berebut kuasa dan berusaha memperbesar kekuasaan itulah yang menyebabkan terjadinya pergumulan politik antar elite di dunia politik.
Akan menjadi lain, jika “turun” dan “naik” gunung yang diperdebatkan itu menyangkut kehidupan rakyat kecil tentu tone-nya akan dimaknai publik dengan sukacita.
Akan tetapi, jika yang dipertentangkan itu menyangkut syahwat politik untuk menggapai ”capres-cawapres” maka tone turun-naik gunung akan diterjemahkan publik sebagai rasa sakit dan sentimen pribadi para elite.