Sudah bukan menjadi rahasia umum, SBY begitu mengendorse penuh sang putra Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk menjadi penerus trah Cikeas.
Seluruh slagorde partai berlambang mercy itu pun juga seia sekata, harga mati untuk AHY menjadi calon presiden.
Takdir AHY hanya bisa menapak cawapres jika konklusi akhir partai-partai yang berkoalisi nantinya dengan partai besutan SBY, pada akhirnya menempatkan Anies Baswedan sebagai capres, misalnya.
Tentu partai yang berkoalisi nantinya ingin menaruh target menang, sehingga yang dipasang sebagai calon RI-1 harus memiliki elektabiltas, kapasitas dan rekam jejak kepemimpinan yang jelas.
Hingga tulisan ini dibuat, AHY begitu yakin Demokrat akan bersanding dengan Nasdem dan PKS untuk menghadapi Pilpres 2024 mendatang.
Ada tradisi pewarisan kepemimpinan di negeri ini yang selalu berbalut dendam. Ketika Soeharto dengan Orde Baru-nya mendongkel kekuasaan Soekarno, Soeharto dan antek-anteknya selalu menyebut Soekarno sebagai rezim Orde Lama yang jelek.
Demikian pula ketika Jokowi yang sudah kalang kabut membangun infrastruktur yang megah dan bermanfaat untuk rakyat, dibilang keturunan SBY hanya bisa menggunting pita peresmian.
Tidak ada kedamaian, tidak ada contoh teladan yang ditinggalkan para pemimpin negeri ini bagi rakyatnya yang hanya bisa melongo dan plongah-plongoh seperti saya ini.
Tidak ada yang peduli dengan “wanti-wanti” Global Food Security Index yang menyebut negeri kita mengalami penurunan pascapandemi Covid-19.
Indonesia disebut Global Food Security Index menghadapi triple burmalnutrition den of atau tiga masalah gizi sekaligus. Yakni gizi kurang (stunting dan wasting), obesitas, dan kurang gizi mikro atau disebut sebagai kelaparan tersembunyi (the hidden hunger).
Bahkan Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB, Prof Drajat Martianto menegaskan meski kondisi ketahanan pangan Indonesia masih tergolong baik, tetapi terjadi penurunan dalam ketahanan pangan nasional (Kompas.com, 19/09/2022).
Belajar dari pengalaman negara-negara “gagal” mengurus hajat hidup rakyatnya seperti Srilanka, Pakistan, Lebanon, Kenya atau puluhan negara-negara lain sudah seharusnya kita bersyukur dan menguatkan ikatan persaudaraan kita sebagai sesama anak bangsa.
Sudahi pertikaian “turun” dan “naik” gunung hanya untuk saling mengamankan “jagoannya” masing-masing.
Sebaiknya fokus saja untuk membenahi kehidupan masyarakat menengah ke bawah yang terkena imbasnya kenaikan Bahan Bakar Minyal (BBM).
Jika “turun” gunung dimaknai sebagai pembelaan terhadap nasib pengemudi kendaraan berbasis online, atau solusi mengatasi kelangkaan pupuk bersubsidi yang dibutuhkan petani serta pemenuhan harapan nelayan untuk mendapatkan harga solar yang terjangkau, alangkah mulianya para elite jika ingin benar-benar “turun” gunung.
Akan sangat menyakitkan perasaan ribuan para sarjana baru yang tidak bosan mengirimkan lamaran pekerjaan ke banyak perusahaan andaikan “turun” gunung digaungkan hanya karena kekhawatiran “sang putra mahkota” tidak bisa maju ke pentas Pilpres 2024 karena ogah-nya partai politik lain berkoalisi dengan sang empunya hajatan.
Soal bisa tidaknya seorang calon mendapat “tiket” pencapres dan pencawapresan tentunya tergantung deal-deal politik para elite partai dan rakyat tidak mau tahu selain urusan kecukupan pangan, sandang dan papan yang mereka butuhkan.
Jangan sampai para elite “membajak” hajat hidup rakyat demi kepentingan pribadi. Untuk urusan menggapai kekuasaan di Istana, rakyat hanya diminta stempel dan cap jempolnya tanpa didengar aspirasi apalagi dientaskan penderitaannya.
Saya menjadi teringat dengan ulasan Mohtar Mas’oed dan Colin Mac Andrew (2006) dalam bukunya “Perbandingan Sistem Politik” yang menyebut keunggulan elite atas massa sepenuhnya tergantung pada keberhasilan mereka dalam memanipulasi lingkungannya dengan simbol-simbol, kebaikan-kebaikan atau tindakan-tindakan.
Padahal elite merupakan kelompok terorganisasi yang memiliki wewenang politik. Kelas elite ini terdiri dari minoritas terorganisasi yang memaksakan kehendaknya melalui manipulasi maupun kekerasan, khususnya dalam demokrasi.
Pemaknaan “naik” gunung seperti yang dilontarkan PDIP mewakili kelompok penguasa, hendaknya diartikan sebagai pola pandang untuk mereview peran agregasi yang telah dijalankan SBY.
PDIP dan rezim yang berkuasa tidak boleh alergi dengan kritik yang dilancarkan oposisi. Justru kritik adalah vitamin untuk energi kekuasaan agar jalannya rezim tetap mendapat koreksi.
Keprihatinan yang disuarakan oleh 32 rektor perguruan tinggi negeri dan swasta yang berkumpul di Kampus Universitas Gajah Mada, Yogyakarta tanggal 17 September 2022, tidak lain adalah “pengingat” agar Pemilu dijadikan sebagai media pendidikan politik guna pembangunan moral bangsa.