Pemilu harus mengedepankan nilai kejujuran, keteladanan dan keadaban kontestasi dalam sistem demokrasi dan menghindari persaingan politik kotor demi kekuasaan semata.
Ke 32 pimpinan perguruan tinggi itu juga meminta seluruh komponen bangsa untuk menjamin pemilu berjalan secara partisipatif bagi seluruh Bangsa Indonesia dan tidak dimonopoli oleh segelintir elite kelompok oligarki dan mengabaikan kepentingan publik (Kompas.com, 17/09/2022).
Bisa jadi memang sinyalemen SBY tidak seratus persen benar. Tetapi dengan melihat gelagat lontaran wacana perpanjangan masa jabatan hingga tiga periode oleh para relawan Jokowi yang kini telah layu atau wacana menjadikan Jokowi sebagai cawapres agar bisa “bertanding” lagi di Pilpres 2024 dari Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP Bambang Wuryanto, kekhawatiran terjadinya pemaksaan kehendak memang ada indikasinya ke arah tersebut.
Lantas ketika elit mulai melancarkan strategi “dibanding-bandingke” untuk mencari pembenar sinyalemen terjadinya kecurangan pemilu yang tersistematis dengan komparasi capaian pembangunan, rasanya pun juga tidak elok.
Betul kata Farel Prayoga, penyanyi cilik yang juga mantan pengamen di Banyuwangi ketika menyenandungkan “ojo dibanding-bandingke” di perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-77 di Istana Negara Jakarta, 17 Agustus lalu.
Masyarakat dari Sabang hingga Merauke, dari Mianggas hingga Pulau Rote, dari Pacitan di Jawa Timur hingga Solo di Jawa Tengah dan dari Cikeas (kediaman SBY) hingga Kebagusan (rumah Megawati Soekarnoputeri) pun menyadari ada tidaknya perubahan pembangunan dalam setiap era kepemimpinan Presiden Indonesia.
Sama seperti AHY dan SBY yang tinggal di Cikeas, saya pun yang menetap di Cibubur ikut merasakan pembangunan underpass dari Jalan Trans Alternatif Cibubur menuju Tol Jagorawi selama era satu dekade SBY memimpin.
Sementara di zaman Jokowi, saya bangga bisa melihat rampungnya jalan Tol Cijago-Cinere-Cimanggis-Cibitung yang membelah perumahan tempat saya tinggal atau tuntasnya pembangunan LRT Cibubur – Jakarta yang super keren, walau belum diresmikan pengoperasiannya hingga kini.
Yang saya sebut ini tentunya hanya pembangunan infrastruktur di lokasi yang berdekatan dengan kediaman SBY, AHY serta saya di Kawasan Cibubur-Cimanggis-Cikeas.
Mungkin “pikniknya” para elite kita yang nyinyir dengan pembangunan infrastruktur yang masif dilakukan di 8 tahun terakhir ini kurang jauh. Kebetulan saya pernah mendatangi satu persatu Pos Lintas Batas Negara (PLBN) yang tersebar di 8 titik di 3 provinsi.
Di Nusa Tenggara Timur ada Mota’ain, Motamasin dan Wini, di Papua ada Skow serta di Kalimantan Barat ada Aruk, Badau, Entikong dan Jagoibabang, lihatlah kebanggaan masyarakat di sana dan daya ungkit PLBN bagi perekonomian warga setempat.
Hanya di era Jokowi saya pernah merasakan mulusnya jalan Tol Trans Jawa, Tol Sumatera, Tol Bitung-Manado dan terbang dari puluhan bandara kecil kabupaten di berbagai daerah. Saya kerap menetap di Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Tinggal di Kendal, Jawa Tengah, menginap berbulan-bulan di Tarakan dan Tanjung Selor di Kalimantan Utara serta lebih banyak menghabiskan waktu di Kendari dan Konawe Selatan di Sulawesi Tenggara.
Saya kunjungi Pulau Selayar di Sulawesi Selatan serta menyusuri jalanan dari Bulukumba, Janeponto, Banteng, Gowa hingga Makassar.
Saya datangi Kepulauan Karimun di Kepulauan Riau serta menyusuri Medan-Tarutung-Sibolga hingga Pandan di Sumatera Utara.
Saya begitu terkesan dengan mulusnya jalan di Kaimana, Papua Barat atau merasakan jalan “seng ada lawan” dari Kupang hingga Belu di Nusa Tenggara Timur.
Saya bangga dengan capaian pembangunan infrastruktur di tanah air, saya apresiasi pembangunan di era SBY serta di masa Jokowi.
Setiap masa kepemimpinan memiliki tantangan yang berbeda. Saya pun berharap Jokowi menyudahi kepemimpinannya di dua periode saja agar tatanan demokrasi berjalan benar adanya.
Siapa pun presiden dan wakil presidennya mendatang, toh tidak mengubah nasib saya dan jutaan rakyat miskin di tanah air selain hanya menguntungkan partai dan relawannya.
Di saat kondisi elite-elite bangsa ini saling salah menyalahkan satu sama lain, saya menjadi teringat dengan petuah yang pernah diucapkan Bung Hatta. Salah satu Proklamator bangsa ini.
“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki.”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.