Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mustakim
Jurnalis

Eksekutif Produser program talkshow Satu Meja The Forum dan Dua Arah Kompas TV

Karpet Merah untuk Penjarah Uang Rakyat

Kompas.com - 14/09/2022, 10:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PULUHAN terpidana kasus korupsi dibebaskan secara bersamaan. Berbagai potongan hukuman membuat mereka bisa lebih cepat keluar dari vonis yang dijatuhkan pengadilan.

Kala perhatian publik tengah tersedot pada kasus skandal ‘Duren Tiga’ dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, sebanyak 23 narapidana kasus korupsi atau koruptor dibebaskan secara bersamaan.

Puluhan terpidana kasus korupsi ini mendapatkan pembebasan bersyarat pada Selasa (6/9/2022). Tak sedikit koruptor yang menghirup udara bebas itu terlibat kasus korupsi bernilai miliaran hingga triliunan rupiah.

Para koruptor yang dibebaskan secara bersamaan ini berasal dari dua Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), yaitu Lapas Kelas I Sukamiskin dan Lapas Kelas IIA Tangerang.

Sebagian dari mereka telah mendekam di penjara selama beberapa tahun. Namun, ada juga yang baru menjalani pidana sangat singkat, seperti mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Selain Pinangki, ada beberapa koruptor yang namanya akrab di telinga masyarakat yang juga ikut dibebaskan.

Mereka di antaranya mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan adiknya Tubagus Chaeri Wardana. Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, mantan Gubernur Jambi Zumi Zola Zulkifli dan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berdalih, pembebasan para napi kasus korupsi ini sudah sesuai regulasi.

Pembebasan bersyarat tersebut mengacu pada Pasal 10 UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang telah resmi berlaku sejak 3 Agustus 2022.

Dalam pasal itu disebutkan, narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali diberikan sejumlah hak, salah satunya pembebasan bersyarat.

Tak ada efek jera

Pembebasan bersyarat puluhan napi kasus korupsi ini dinilai menciderai rasa keadilan masyarakat. Selain itu, kebijakan ini juga dinilai mengabaikan esensi ‘pemberatan’ hukuman bagi napi kasus korupsi untuk menimbulkan efek jera.

Seperti dalam kasus Pinanki. Terpidana penerima suap dari buron kasus hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra sekaligus mantan jaksa ini menjalani masa tahanan yang sangat singkat.

Pengadilan tingkat pertama menjatuhkan pidana 10 tahun penjara. Tetapi, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memangkas hukumannya menjadi 4 tahun penjara.

Pinangki kemudian dieksekusi ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Tangerang pada Agustus 2021.

Namun, hanya sekitar setahun berselang, Pinangki sudah bisa mendapatkan kebebasan. Pinangki hanya menjalani masa tahanan sekitar 2 tahun karena ia ditahan sejak Agustus 2020 oleh Kejaksaan Agung.

Fenomena pemberian berbagai pengurangan masa hukuman dan pemberian pembebasan bersyarat membuat penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi ini tak menimbulkan efek jera.

Sementara, penindakan terhadap kasus korupsi yang berorientasi penjeraan ekonomi atau upaya pemiskinan koruptor juga tidak berjalan sesuai harapan.

Pasalnya, hingga saat ini, regulasi terkait perampasan aset hasil kejahatan tak kunjung disahkan.

Bukan kejahatan luar biasa

Selain tak menimbulkan efek jera, berbagai potongan dan keringanan hukuman serta pembebasan bersyarat juga menegaskan tindak pidana korupsi tak lagi menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) seperti yang selama ini didengungkan.

Dan hal ini dikhawatirkan akan membuat pemberantasan korupsi di negeri ini bernasib suram di masa mendatang.

Pembatalan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, narkotika, terorisme dan lainnya dituding jadi biang keladi munculnya regulasi yang menguntungkan para terpidana kasus korupsi ini.

Pembatalan regulasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) ini juga membuat korupsi tak lagi dikategorikan kejahatan luar biasa, sehingga pelakunya bisa mendapatkan remisi seperti pelaku tindak pidana lainnya.

Pelonggaran aturan dengan menempatkan kasus korupsi sebagai kejahatan biasa tanpa melakukan upaya lain berpotensi meningkatkan jumlah kasus korupsi di negeri ini.

Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah direvisi yang berdampak pada berkurangnya kekuatan lembaga antirasuah ini.

Tak hanya itu institusi ini juga sudah menyingkirkan puluhan penyidiknya yang selama ini dianggap berprestasi dengan dalih tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Kini kita disuguhi aturan baru yang semakin menguntungkan para pencuri kekayaan negeri dan dan penjarah uang rakyat.

Akankah berbagai aturan dan kebijakan ini akan meningkatkan tindak pidana korupsi? Lalu bagaimana nasib pemberantasan korupsi di negeri ini?

Saksikan pembahasannya dalam talkshow Satu Meja The Forum dalam video di bawah ini yang sudah disiarkan langsung di Kompas TV pada Rabu (14/9/2022) pukul 20.30 WIB.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

Nasional
Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Nasional
Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Nasional
Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com