Karakteristiknya yang bijaksana dan jujur, membuat Dewi Themis mampu memberikan keseimbangan antara kesalahan dan hukuman. Karena itu, Dewi Themis dipercaya sebagai simbol atau lambang keadilan.
Diharapkan Dewi Themis menginspirasi para penegak hukum untuk memberikan keadilan yang seadil-adilnya pada kasus pembunuhan Brigadir J.
Secara konseptual, kasus penembakan Bigadir J adalah kasus pembunuhan yang tergolong pada kasus hukum pidana.
Apabila penembakannya tanpa direncanakan maka kasus ini dapat dikatakan sebagai kasus pembunuhan biasa, yang dapat dijerat Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Namun apabila pembunuhan tersebut dilakuakn secara terencana, maka itu merupakan kasus pembunuhan berencana yang dapat dijerat Pasal 340 KUHP.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mempunyai konsep sederhana untuk mengungkap kasus tersebut sebagai pembunuhan biasa atau pembunuhan berncana.
KUHAP mempercayakan pengungkapan kasus tersebut kepada kepolisian melalui penyelidikan dan penyidikan terhadap peristiwa hukum dan perbuatan yang dilakukan oleh penembak.
Selanjutnya KUHAP mempercayakan lebih kepada Jaksa Penuntut Umum untuk mendakwakan dan menuntut hukuman yang adil kepada pembuhuh.
Pada akhirnya KUHAP memberikan otoritas kepada hakim untuk memberikan putusan hukum seadil-adilnya pada kasus Brigadir J ini.
Berdasarkan Pasal 184 KUHAP yang disempurnakan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 penyidik cukup menemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti untuk menyangkakan kasus penembakan Brigadir J sebagai kasus pembunuhan biasa atau pembunuhan berencana, serta menyangkakan pelakunya.
Hasil berkas perkara dari kepolisian diajukan lebih lanjut ke Jaksa untuk dibuatkan berkas dakwaan terhadap terdakwa.
Selanjutnya Jaksa mengajukan berkas dakwaan pembunuhan Brigadir J kepada Pengadilan Umum tingkat pertama (pengadilan negeri).
Dengan kewenangan judek facti-nya, hakim pengadilan tingkat pertama memeriksa pokok perkara, bukti-bukti, dan saksi, kemudian mengadili dan memutus perkara pembunuhan Brigadir J.
Dalam kasus hukum pidana, hakim memiliki unsur “keyakinan hakim” untuk menggali kebenaran material.
Meskipun sudah cukup bukti dan saksi, namun apabila hakim belum berkeyakinan terhadap peristiwa hukum sebenarnya, pelaku sebenarnya, dan tingkat kesalahan hukum sebenarnya, maka hakim masih berwenang meminta kepada jaksa dan/atau terdakwa untuk mengajukan bukti-bukti lain yang meyakinkan hakim.
Karena itu, unsur keyakinan hakim ikut menjadi kunci putusan pengadilan yang adil bagi kasus pembunuhan Brigadir J.
Pada kenyataan, praktik hukum di semua tingkatan penegakan hukum pidana sangat bergantung pada kesungguhan, kejujuran, dan kemampuan para penegak hukum sesuai dengan tingkat kewenangannya masing-masing.
Faktor hubungan keluarga, pertemanan, atasan dan bawahan, imbal balik, dan hal-hal yang diperjanjikan dapat memengaruhi kesungguhan, kejujuran, dan kemampuan para penegak hukum dalam menangani kasus hukum pidana.
Pemecatan Kepala Kepolisian Resort Bandara Soekarno Hatta tahun 2022 karena menerima suap, pemecatan Jaksa Pinangki Sirna Malasari tahun 2021 karena menerima suap, pemecatan hakim Pengadilan Negeri Bondowoso tahun 2022 karena menerima suap, dan Pemecatan Ketua Mahkamah Konstitusi tahun 2013 karena menerima Suap merupakan bukti konkret adanya praktik hukum para penegak hukum yang tidak sungguh-sungguh, tidak jujur, dan tidak mampu menegakkan hukum yang berkeadilan.
Hal di atas dapat saja terjadi pada penanganan kasus pembunuhan Bigadir J, mengingat kelima tersangka memiliki kedekatan hubungan antara satu dengan yang lainnya.