Muladi (1972:78), juga mengingatkan, ”Hukum pidana tidak boleh hanya berorientasi pada perbuatan manusia saja (daadstrafrecht) sebab dengan demikian hukum pidana menjadi tidak menusiawi dan mengutamakan pembalasan. Apabila Hukum Pidana hanya diorientasikan pada pemenuhan unsur tindak pidana dalam perundang-undangan juga tidak benar karena hanya memperhatikan si pelaku saja (daderstrafrecht) dengan demikian penerapan hukum pidana akan berkesan memanjakan penjahat dan kurang memperhatikan kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingan masyarakat, kepentingan negara dan kepentingan korban tindak pidana”.
Munculnya viktimologi sebagai ilmu yang berusaha menegakkan hak-hak korban, salah satunya melalui pendekatan Criminal-Victim Relationship, maka keterlibatan korban akan berpengaruh pada tingkat kesalahan pelaku kejahatan, dan tingkat kesalahan ini akan berpengaruh pula pada aspek pertanggungjawaban pidana.
Sebesar apa kerugian yang dialami korban akan menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.
Akan sangat berbeda ketika polisi dan jaksa hanya bermain dengan pelaku, fakta dengan mudah berubah, motif dapat diciptakan dan ujung-ujungnya adalah kepentingan pelaku.
Mindset Polisi yang terkesan offender centered, mengharuskan kita untuk memperbaiki posisi korban dalam sistem hukum agar apa yang diperolehnya tidak hanya kepuasan simbolik.
Simbolik karena kepentingan korban tindak pidana seolah telah diwakili oleh alat negara, yakni polisi dan jaksa sebagai penyelidik, penyidik, penuntut umum, namun semua ini hanya demi menegakkan hukum saja dengan target menghukum pelaku yang dengan berbagai fakta yang justru menguntungkan pelaku.
Seringkali motif menjadi salah satu argumen untuk menujukkan ada alasan yang logis atas perbuatan pelaku.
Hal ini yang dikhawatirkan banyak pihak, minset polisi yang tidak berpihak kepada korban dapat menimbulkan proses viktimisasi kriminal, menjadi korban sistem hukum yang tidak adil.
Viktimisasi ini sudah nampak dengan fakta yang dimunculkan dalam kasus Brigadir J seolah pembunuhan terjadi karena kesalahan korban.
UU No 31 Tahun 2014 Pasal 8 (1) Perlindungan terhadap saksi dan/atau korban sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir. Salah satu hak yang dimiliki korban adalah mendapat informasi mengenai perkembangan kasus.
Terkait dengan proses rekonstruksi sudah selayaknya kuasa hukum korban terlibat dan mengikuti seluruh proses rekonstruksi tersebut agar ada keseimbangan dalam kesaksian pelaku.
Apalagi kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J termasuk kejahatan berat, dilihat dari ancaman sanksi, yaitu hukuman mati, penjara seumur hidup atau penjara dalam waktu tertentu paling lama 20 tahun.
Membaca UU No 14 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 6 Tahun 2013 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pada Pasal 5 dirumuskan:
(1) Saksi dan Korban berhak:
Perlindungan bagi saksi/korban yang bersifat menyeluruh harus mencakup lima tahapan yang dilalui saksi/korban, yaitu: tahap pertolongan pertama (gawat darurat ketika peristiwa baru saja terjadi), tahap investigasi, tahap prapersidangan, tahap persidangan serta tahap pascapersidangan (setelah putusan akhir).