Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Yusuf ElBadri
Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengkaji Islam dan Kebudayaan

Ironi dalam Sajak Arafat Nur

Kompas.com - 22/08/2022, 12:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TEMAN saya seorang guru di salah satu sekolah swasta. Ia pengajar mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan.

Dalam setiap pertemuan, ia dengan fasih mengomentari masalah hubungan pemberitaan tentang politik, mulai dari suap dan nepotisme pejabat, hak asasi warga negara, kemiskinan, keadilan hingga korupsi di Kementerian Agama.

Suatu kali di warung tongkrongan kami, ia membuat sebuah kesimpulan bahwa semua persoalan negara bermula dari krisis integritas pejabat negara.

Pejabat negara tanpa integritas cenderung menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Penegak hukum tanpa integritas cenderung menjatuhkan hukum berat sebelah. Dan seterusnya.

Di tengah obrolan itu, hapenya berdering. Anaknya yang berusia 11 tahun meminta segera pula karena sudah malam, waktu itu pukul 8 malam.

Sebelum menutup telepon anaknya bertanya, “ayah lagi di mana?” Spontan ia menjawab, “ayah masih di kantor, sedang ada rapat.”

Lalu obrolan kami terus berlanjut tentang berita politik penangkapan menteri dan jenderal polisi yang terlibat suap.

Lain lagi dengan seorang teman yang sehari-hari dikenal sebagai ustadz. Dalam sebuah perjalanan pesawat terbang, kami berangkat berbarengan ke Jakarta.

Ketika check in, petugas bertanya, apakah ada penumpang dalam keadaan hamil di rombongan saya.

Sejenak saya menengok ke arah istri dan bingung. Saya khawatir tidak boleh terbang karena istri saya sedang hamil muda. Saya jawab, “iya, ada.”

Petugas itu lalu menyarankan agar dicek kesehatannya untuk mendapatkan izin perjalanan. Setelah semua selesai, kami duduk di ruang tunggu.

Sambil menunggu kedatangan pesawat, teman itu mengajak ke mushala bandara untuk shalat zuhur. Sambil jalan menuju mushala, ia bertanya, “bayar berapa tadi cek kesehatan?”

Saya jawab sejumlah uang yang saya sudah lupa berapa. Ia lalu menimpali seolah menyesalkan tindakan saya, “Seharusnya tadi kamu tidak perlu menoleh ke belakang. Bilang saja, tidak. Tapi dengan kamu menoleh ke belakang, petugas itu justru semakin curiga. Kamu akhirnya harus bayar”.

Sejak itu saya jadi bertanya dan heran kenapa teman saya itu ‘menyarankan’ saya untuk berbohong, padahal ia ahli agama?

Sama halnya dengan guru yang fasih bicara integritas tadi, tapi berbohong pada anaknya.

Jawaban pertanyaan itu saya peroleh dalam sajak Arafat Nur. Kalau pertanyaan itu saya ajukan kepada Arafat Nur, barangkali ia akan berkata datar, ”Jangan heran, ya. Hal semacam ini sering terjadi di kota-kota besar!”

Sajak Arafat Nur berjudul Sering Terjadi di Kota-kota Besar 1, 2 dan 3 ini disiarkan oleh Jawapos 11 Oktober 2020.

Ia menulis sajak dengan bahasa yang sederhana, tetapi begitu memikat dan sanggup menghadirkan sebuah potret masyarakat.

Potret masyarakat yang hipokrit sebenarnya bukan saja ditemukan dalam masyarakat kota, tapi juga masyarakat desa.

Bedanya, barangkali di kota hipokritisme sering terjadi dan sudah biasa bagi masyarakat. Sedang di desa mungkin masih menjadi sesuatu yang tabu dan aneh dalam batas tertentu.

Dalam sajak berjudul Sering Terjadi di Kota-kota Besar 1, Arafat Nur menulis tentang petugas kebersihan tetapi selalu kotor, punya waktu membangunkan dunia tetapi selalu ketiduran.

Menjelang siang aku mengunjungi teman
lama yang sekarang tinggal di kota. Dia bekerja
sebagai tukang bersih kantor, tetapi dirinya selalu
kotor.
Tidak banyak hal yang harus dia kerjakan
selain mengelap meja, menyapu ruangan, dan
memungut tebaran sampah di pekarangan gedung
kecil itu.
Lebih dari itu dia memiliki begitu banyak
waktu senggang untuk membangunkan dunia.
Namun, setiap kali aku datang, dia selalu ketiduran,
entah itu di bangku tamu atau di ruang kerja.

Sajak pertama dapat dipahami bahwa ada hubungan yang bertentangan antara profesi seseorang dengan laku kesehariannya.

Dalam sajak ini digambarkan bahwa bagi masyarakat perkotaan pekerjaan adalah satu dan kepribadian adalah hal lain. Profesi seseorang tidak ada hubungkaitnya dengan tindakan sehari-hari.

Barangkali inilah adalah citra dunia modern kita, di mana sikap hidup pribadi seseorang modern tidak dapat dilihat dari profesi yang tengah digelutinya.

Seorang penegak hukum bisa saja pelanggar hukum, seorang guru tidak perlu menjadi teladan, seorang dokter mungkin juga seorang perokok berat dan bahkan tokoh agama adalah pelaku kekerasan.

Semua ini bukan tentang apa yang dilakukan atau apa yang dijadikan sebagai nilai bagi kehidupan melain tentang profesi, pekerjaan dan uang.

Masyarakat modern percaya bahwa profesi adalah satu hal, dan nilai serta sikap adalah hal lain.

Pada bagian kedua yang diberi judul Sering Terjadi di Kota-kota Besar 2, Nur menulis tentang suasana yang gaduh karena hal yang tak terlalu penting:

Kantor itu tidak pernah ramai, hanya lima atau
tujuh orang yang kutemui sedang sibuk sendiri
bukan oleh pekerjaan, melainkan gaduh dengan
berbagai permainan semacam domino dan game,
tanpa terlalu peduli pada tukang bersih yang jarang
mandi dan sering tidur sesuka hati.
Sepertinya temanku itu juga tidak terlalu peduli
dengan berbagai kegilaan dunia yang sepertinya
sudah lazim bagi dirinya.

Sajak kedua bicara tentang suatu aktivitas permainan atau hiburan yang membuat kegaduhan. Aktivitas bermain yang hanya dimainkan oleh beberapa orang menimbulkan kegaduhan.

Kegaduhan dalam arti yang terbatas berarti suara bising atau suara yang mengganggu. Dalam konteks sosial masyarakat, kegaduhan bisa diartikan sebagai pertikaian, prahara dan konflik sosial dan politik.

Melihat pada kasus perpolitikan dah hukum di Indonesia hari-hari ini, memang dua-tiga elite kekuasaan dan politik membuat suasana Indonesia seolah dalam perang dan suasana mengkhawatikan.

Satu kelompok menghadang kelompok lain. Kelompok lain mengancam tak kalah garang. Dan semua berakhir ketika elite duduk untuk rehat sejenak sambil menikmati hidangan kemenangan yang dibagi rata.

Demikian juga dengan bagian ketiga sajak yang berjudul Sering Terjadi di Kota-kota Besar 3 yang berbicara seseorang yang tidur lebih awal dan tidak bangun ketika siang tiba.

Aku bertanya pada salah seorang pegawai,
kenapa temanku itu belum bangun-bangun juga
sesiang ini, apakah semalaman dia begadang
sampai pagi.
Orang itu menjawab bahwa semalam temanku itu
tidur lebih awal dibandingkan teman lainnya. Tadi
dia sempat terbangun sebentar, lantas tidur lagi.
Aku pun heran kenapa dia bisa sampai begitu;
kenapa habis bangun langsung tidur lagi.
”Jangan heran ya,” jawabnya datar saja. ”Hal
semacam ini sering terjadi di kota-kota besar!”

Bila puisi ini dibaca dalam konteks hukum Indonesia saat ini, barangkali ada pertanyaannya begini: Apakah aksi ‘bersih-bersih’ di internal Polri adalah sungguh-sungguh?

Apakah penangkapan tersangka korupsi KPK juga sungguh-sungguh? Atau tindakan itu sekadar terbangun sebentar untuk kemudian tidur lagi seperti pegawai dalam puisi?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPU Mulai Tetapkan Kursi DPRD, Parpol Sudah Bisa Berhitung Soal Pencalonan di Pilkada

KPU Mulai Tetapkan Kursi DPRD, Parpol Sudah Bisa Berhitung Soal Pencalonan di Pilkada

Nasional
PKB Jajaki Pembentukan Koalisi untuk Tandingi Khofifah di Jatim

PKB Jajaki Pembentukan Koalisi untuk Tandingi Khofifah di Jatim

Nasional
PKB Bilang Sudah Punya Figur untuk Tandingi Khofifah, Pastikan Bukan Cak Imin

PKB Bilang Sudah Punya Figur untuk Tandingi Khofifah, Pastikan Bukan Cak Imin

Nasional
KPK Sita Gedung Kantor DPD Nasdem Milik Bupati Nonaktif Labuhan Batu

KPK Sita Gedung Kantor DPD Nasdem Milik Bupati Nonaktif Labuhan Batu

Nasional
MA Kuatkan Vonis 5 Tahun Penjara Angin Prayitno Aji

MA Kuatkan Vonis 5 Tahun Penjara Angin Prayitno Aji

Nasional
Soal Jokowi Jadi Tembok Tebal antara Prabowo-Megawati, Sekjen PDI-P: Arah Politik Partai Ranah Ketua Umum

Soal Jokowi Jadi Tembok Tebal antara Prabowo-Megawati, Sekjen PDI-P: Arah Politik Partai Ranah Ketua Umum

Nasional
TNI-Polri Bahas Penyalahgunaan Pelat Nomor Kendaraan yang Marak Terjadi Akhir-akhir Ini

TNI-Polri Bahas Penyalahgunaan Pelat Nomor Kendaraan yang Marak Terjadi Akhir-akhir Ini

Nasional
Andi Gani Ungkap Alasan Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Andi Gani Ungkap Alasan Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Nasional
PKB Siap Bikin Poros Tandingan Hadapi Ridwan Kamil di Pilkada Jabar

PKB Siap Bikin Poros Tandingan Hadapi Ridwan Kamil di Pilkada Jabar

Nasional
Hari Pendidikan Nasional, Serikat Guru Soroti Kekerasan di Ponpes

Hari Pendidikan Nasional, Serikat Guru Soroti Kekerasan di Ponpes

Nasional
Bukan Staf Ahli, Andi Gani Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Bukan Staf Ahli, Andi Gani Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Nasional
Anies Belum Daftar ke PKB untuk Diusung dalam Pilkada DKI 2024

Anies Belum Daftar ke PKB untuk Diusung dalam Pilkada DKI 2024

Nasional
PAN Persoalkan Selisih 2 Suara tapi Minta PSU di 5 TPS, Hakim MK: Mungkin Enggak Setengah Suara?

PAN Persoalkan Selisih 2 Suara tapi Minta PSU di 5 TPS, Hakim MK: Mungkin Enggak Setengah Suara?

Nasional
Kuasa Hukum KPU Belum Paham Isi Gugatan PDI-P di PTUN

Kuasa Hukum KPU Belum Paham Isi Gugatan PDI-P di PTUN

Nasional
KPK Sita Pabrik Kelapa Sawit Bupati Nonaktif Labuhan Batu, Nilainya Rp 15 M

KPK Sita Pabrik Kelapa Sawit Bupati Nonaktif Labuhan Batu, Nilainya Rp 15 M

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com