Survei ini memotret tingkat pemahaman anak muda (Generasi Millenial dan Generasi Z) berdasarkan pengamatan melalui media komunikasi yang mereka gunakan saat ini media sosial, televisi, radio, dan podcast.
Secara umum, survei menemukan adanya kecenderungan di mana anak muda sebetulnya tidak begitu religius dan rajin dalam menjalankan ritual-ritual keagamaan.
Namun pandangannya terhadap agama justru berpotensi lebih konservatif bila dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya.
Selain itu, anak muda juga menjadi responden yang paling sering mengakses media untuk mencari tahu informasi keagamaan.
Jelas saja, jika kondisi intoleransi dan permusuhan semacam ini sejatinya akan menjadi prasyarat kuat untuk terjadinya perpecahan, keterbelahan politik, lahirnya kebencian, menguatnya permusuhan, dan sebagainya.
Jika itu sampai terjadi, maka dosa terbesar akan disematkan kepada para oknum elite di semua tingkatan di negeri ini, bukan kepada rakyat banyak yang menjadi korban provokasi dan adu domba.
Kita sudah melihat bagaimana destruktifnya konflik yang dipicu oleh SARA di masa lalu. Kasus Sampit di Kalimantan Tengah dan Ambon di Maluku adalah dua contoh yang tidak perlu lagi terjadi di masa depan.
Sementara di tingkat global kita juga sudah menyaksikan betapa mengerikannya peperangan di Kosovo, Bosnia Herzegovina, beberapa negara di Afrika bahkan Myanmar.
Dalam konteks inilah kita harus memaknai kekhawatiran Jokowi atas potensi politik identitas dan politisasi agama yang marak belakangan ini.
Tantangan negeri ini tidaklah ringan, baik di tingkat global maupun domestik. Maraknya politik identitas dan politisasi agama hanya akan mempersulit negara ini untuk melangkah maju.
Ekonomi akan semakin sulit berkembang karena kepastian berinvestasi menipis akibat potensi konflik yang besar.
Untuk berhadapan dengan berbagai tantangan yang sulit itu, kepemimpinan nasional yang tercerahkan sangat dibutuhkan, bukan kepemimpinan nasional yang ditopang oleh kebencian dan politik identitas.
Karena itu pula, di sisi lain, kesepakatan sosial politik yang tercipta di dalam tatanan demokrasi harus didasarkan toleransi di satu sisi dan nasionalisme di sisi lain.
Perpaduan dua hal tersebut tak akan dapat tercapai bila kuasa negara dipegang oleh mereka yang gaduh dan berbuat hanya untuk kepentingan diri maupun kelompoknya.
Demokrasi di dalam bangsa dan negara yang beragam seperti Indonesia, tidak bisa tidak, harus ditopang oleh semangat toleransi yang tinggi.