Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Mimpi Politik Jokowi adalah Mimpi Kita Semua

Kompas.com - 19/08/2022, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAK bisa dipungkiri bahwa beberapa tahun belakangan, kita cukup khawatir dengan persoalan kebangsaan kita.

Terkadang dengan mudah rasa itu bisa menipis, hanya karena tetek bengek politik yang sepele. Begitu mudah cacian, makian, hinaan, fitnah dan rasa permusuhan yang kental dipertunjukkan di ruang publik.

Padahal, hal-hal semacam itu justru makin memperlihatkan betapa rentannya kita sebagai sebuah negara bangsa di mata khalayak internasional.

Originalitas keramahan dan persaudaraan yang telah menjadi ciri khas ketimuran kita seolah meleleh begitu saja saat dihadapkan dengan misi dan perjuangan jangka pendek sekelas pemilihan presiden, sejak 2014 lalu, misalnya.

Nampaknya kita terlalu riang dengan perkembangan kekinian, terlalu yakin dengan monopoli-monopoli atas kavling-kavling mimpi yang akan kita bangun di hari depan, sehingga kita jarang melihat ke belakang, jarang bercengkrama dengan sejarah bangsa kita sendiri.

Sehingga yang terjadi hari ini, pertunjukan-petunjukan keegoisan kelompok masing-masing, pertunjukan watak keras kepala masif dari masing-masing kelompok yang berbeda kepentingan politik, memperlihatkan betapa deret umur dari tubuh sosial politik Indonesia masih sangatlah pendek.

Padahal negara bangsa yang kita cintai ini, telah melalui perjuangan yang sangat solid dan membanggakan dari pendahulu-pendahulu kita. Bahkan tak jarang menjadi sumber yang membuat penasaran banyak ilmuwan luar negeri.

Karena itu, saya sangat memahami mengapa Presiden Jokowi menekankan pentingnya persatuan di dalam pidato kenegaraan sidang tahunan MPR 2022 di hadapan anggota MPR/DPR pada tanggal 16 Agustus 2022 lalu.

"Saya ingatkan, jangan ada lagi politik identitas. Jangan ada lagi politisasi agama. Jangan ada lagi polarisasi sosial. Demokrasi kita harus semakin dewasa. Konsolidasi nasional harus diperkuat," begitu ucap beliau di salah satu paragraf jelang akhir pidatonya.

Dengan kata lain, toleransi adalah prasyarat utama bangunan kebangsaan dan nasionalisme kita, di mana pun di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.

Spirit ini tidak saja harus terus ditanamkan dan dipupuk, tapi juga harus didukung dan diupayakan dengan berbagai kebijakan pemerintah, mulai dari pusat hingga ke daerah.

Selama ini, yang paling menonjol adalah masalah semakin rentannya stabilitas toleransi beragama.

Bahkan yang lebih memilukan, membahayakan adalah saat bangunan psikologi atas toleransi yang telah bersemayam lama dalam jiwa-jiwa masyarakat Indonesia, digiring terus-menerus oleh para oknum elite di berbagai level ke arah intoleransi dan permusuhan.

Jika hal itu tidak dicegah, maka akan sangat rawan memengaruhi anak-anak muda.

Sinyal mengkhawatirkan tersebut telah terlihat. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melalui program Media and Religious Trends in Indonesia (MERIT Indonesia) pada 2021 yang melakukan survei nasional untuk mengetahui fenomena sesungguhnya bagaimana konservatisme milenial beragama.

Survei ini memotret tingkat pemahaman anak muda (Generasi Millenial dan Generasi Z) berdasarkan pengamatan melalui media komunikasi yang mereka gunakan saat ini media sosial, televisi, radio, dan podcast.

Secara umum, survei menemukan adanya kecenderungan di mana anak muda sebetulnya tidak begitu religius dan rajin dalam menjalankan ritual-ritual keagamaan.

Namun pandangannya terhadap agama justru berpotensi lebih konservatif bila dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya.

Selain itu, anak muda juga menjadi responden yang paling sering mengakses media untuk mencari tahu informasi keagamaan.

Jelas saja, jika kondisi intoleransi dan permusuhan semacam ini sejatinya akan menjadi prasyarat kuat untuk terjadinya perpecahan, keterbelahan politik, lahirnya kebencian, menguatnya permusuhan, dan sebagainya.

Jika itu sampai terjadi, maka dosa terbesar akan disematkan kepada para oknum elite di semua tingkatan di negeri ini, bukan kepada rakyat banyak yang menjadi korban provokasi dan adu domba.

Kita sudah melihat bagaimana destruktifnya konflik yang dipicu oleh SARA di masa lalu. Kasus Sampit di Kalimantan Tengah dan Ambon di Maluku adalah dua contoh yang tidak perlu lagi terjadi di masa depan.

Sementara di tingkat global kita juga sudah menyaksikan betapa mengerikannya peperangan di Kosovo, Bosnia Herzegovina, beberapa negara di Afrika bahkan Myanmar.

Dalam konteks inilah kita harus memaknai kekhawatiran Jokowi atas potensi politik identitas dan politisasi agama yang marak belakangan ini.

Tantangan negeri ini tidaklah ringan, baik di tingkat global maupun domestik. Maraknya politik identitas dan politisasi agama hanya akan mempersulit negara ini untuk melangkah maju.

Ekonomi akan semakin sulit berkembang karena kepastian berinvestasi menipis akibat potensi konflik yang besar.

Untuk berhadapan dengan berbagai tantangan yang sulit itu, kepemimpinan nasional yang tercerahkan sangat dibutuhkan, bukan kepemimpinan nasional yang ditopang oleh kebencian dan politik identitas.

Karena itu pula, di sisi lain, kesepakatan sosial politik yang tercipta di dalam tatanan demokrasi harus didasarkan toleransi di satu sisi dan nasionalisme di sisi lain.

Perpaduan dua hal tersebut tak akan dapat tercapai bila kuasa negara dipegang oleh mereka yang gaduh dan berbuat hanya untuk kepentingan diri maupun kelompoknya.

Demokrasi di dalam bangsa dan negara yang beragam seperti Indonesia, tidak bisa tidak, harus ditopang oleh semangat toleransi yang tinggi.

Jika tidak, bangunan fundamental maupun prosedural demokrasi yang telah dirancang secara konsitusional dan institusional akan menjadi sangat rapuh.

Sementara di sisi lain, nasionalisme adalah kerangkanya. Tak ada negara ini tanpa gelora nasionalisme antiimperialisme dari para pendahulu kita, founding fathers Indonesia.

Negara ini bisa berantakan jika rasa nasionalisme itu tidak kita pertahankan, meskipun dalam konteks kekinian.

"It is nationalism which engenders nations, and not the other way round," tulis filosof Ernest Gellner dalam buku tenarnya "Nations and Nationalism."

Dan Jokowi dengan bangga ingin menghadirkan bauran kerangka dan isinya sekaligus, sebagai visi besar yang harus tetap ada di Indonesia, baik saat ini ataupun di waktu-waktu mendatang.

Di satu sisi, tak ada alasan bagi kita sebagai warga negara yang cinta pada tanah air untuk menolaknya.

Sementara di sisi lain, untuk keberlanjutan visi besar tersebut, kita pun harus mulai memberi peluang besar kepada calon-calon pemimpin yang berani mengambil sikap dan berani meneruskan visi besar Indonesia seperti yang telah disampaikan Jokowi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pengusaha Hendry Lie Jadi Tersangka Kasus Korupsi Timah

Pengusaha Hendry Lie Jadi Tersangka Kasus Korupsi Timah

Nasional
Prabowo: Kami Maju dengan Kesadaran Didukung Kumpulan Tokoh Kuat, Termasuk PBNU

Prabowo: Kami Maju dengan Kesadaran Didukung Kumpulan Tokoh Kuat, Termasuk PBNU

Nasional
Prabowo: Saya Merasa Dapat Berkontribusi Beri Solusi Tantangan Bangsa

Prabowo: Saya Merasa Dapat Berkontribusi Beri Solusi Tantangan Bangsa

Nasional
Prabowo Sebut Jokowi Siapkan Dirinya Jadi Penerus

Prabowo Sebut Jokowi Siapkan Dirinya Jadi Penerus

Nasional
Prabowo mengaku Punya Kedekatan Alamiah dengan Kiai NU

Prabowo mengaku Punya Kedekatan Alamiah dengan Kiai NU

Nasional
Imigrasi Deportasi 2 WN Korsel Produser Reality Show 'Pick Me Trip in Bali'

Imigrasi Deportasi 2 WN Korsel Produser Reality Show "Pick Me Trip in Bali"

Nasional
Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

Nasional
Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

Nasional
Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Nasional
Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Nasional
Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Nasional
Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Nasional
Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Nasional
Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Nasional
Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com