Gray, Bounegru, dan Chambers menyinggung pula bahwa "data" dan "jurnalisme" adalah dua istilah yang kompleks dan saling terkait. Jurnalisme sudah bersinggungan dengan data sejak dulu.
Sekitar 20 tahun yang lalu, orang mungkin hanya berpikir bahwa "data" adalah kumpulan angka-angka yang biasanya disajikan dalam bentuk tabel atau spreadsheet, di mana jurnalis harus menginterpretasikannya sendiri.
Namun di masa sekarang, semuanya adalah data berbentuk digital di mana angka-angka menjadi materi pembentuk informasi itu sendiri.
Dokumen pemerintah, data kepolisian, gambar, foto, video, semuanya sudah dalam bentuk informasi digital perpaduan angka 0 dan 1.
Artinya, di masa sekarang data menjadi lebih mudah untuk dikumpulkan, dan dengan bantuan teknologi saat ini, lebih mudah pula untuk diinterpretasikan.
Kegiatan seperti inilah yang membuat Jurnalisme Data menjadi seakan-akan sebuah genre tersendiri. Bahkan dapat dikatakan, semua kegiatan jurnalisme saat ini harus melibatkan Jurnalisme Data.
Dalam buku yang mereka sunting tersebut, Gray, Bounegru, dan Chambers menyebutkan sebuah kemungkinan mengapa hal itu terjadi, dan mengapa Jurnalisme Data menjadi begitu spesial di antara bentuk-bentuk jurnalisme lain.
Mereka menyebutkan, Jurnalisme Data membuka kemungkinan baru untuk mengombinasikan prinsip jurnalisme tradisional "nose for news" dengan kemampuan untuk membangun kisah atau berita melalui ketersediaan informasi digital. Kemungkinan baru tersebut dapat muncul dalam semua tahapan proses jurnalisme.
Misalnya, saat jurnalis menggunakan programming untuk mengotomatisasi pengumpulan dan penggabungan informasi dari pemerintah, kepolisian, atau sumber lain yang berkaitan dengan masyarakat.
Atau menggunakan perangkat lunak untuk mencari keterkaitan dari tumpukan ribuan dokumen.
Beberapa contoh kemungkinan implementasi Jurnalisme Data seperti di atas pernah dilakukan oleh berbagai lembaga.
Tidak hanya media massa arus utama, kompilasi data dan pengolahan dengan menggunakan perangkat lunak juga digunakan oleh media-media alternatif atau individu yang berupaya menghadirkan fakta yang sebenar-benarnya melalui media daring. Upaya yang juga seringkali dinilai terlalu sensitif untuk dipublikasikan.
Salah satunya dilakukan oleh Adrian Holovaty, seorang jurnalis dan pengembang web dari Amerika Serikat yang dikenal sebagai cocreator aplikasi kerangka web berbasis Python bernama Django.
Ia pernah membuat sebuah web untuk mengetahui dan menganalisis kejadian kriminal di Chicago, dengan menggunakan aplikasi otomatisasi pengumpulan dan penggabungan informasi dari berbagai sumber termasuk kepolisian dan pemerintah daerah.
Contoh lain adalah informasi tentang bagaimana kondisi pengeluaran keuangan para anggota parlemen Inggris yang dilakukan oleh The Telegraph.
Media ini menggunakan perangkat lunak khusus untuk mencari keterkaitan informasi di antara ribuan dokumen yang ada. Tentu saja ini termasuk informasi yang sangat sensitif yang kemudian tidak dapat lagi diakses saat ini.
Jurnalis juga dapat menggunakan Jurnalisme Data dalam bentuk infografis untuk menampilkan kisah yang kompleks, atau menjelaskan hubungan antara sebuah kisah dengan seorang figur.
Associated Press (AP) pernah memublikasikan analisisnya yang diambil dari data perang AS di Irak.
Data yang diperoleh sangatlah kompleks dan banyak, menyangkut berbagai aspek yang terjadi di lapangan termasuk kejadian kriminal, gerakan musuh, bahaya ledakan, kegiatan yang tidak berbahaya, laporan ancaman, bahkan insiden-insiden yang mencurigakan.
Apabila disajikan dalam bentuk data mentah, tentu akan membingungkan. Sebagai alternatif yang juga menarik perhatian khalayak, data tersebut kemudian ditampilkan dalam bentuk infografis disertai angka persentase yang mudah dipahami, walaupun tetap kontroversial.
Yang paling utama, Jurnalisme Data dapat membantu proses news gathering, termasuk melakukan penyebaran data, konteks, dan pertanyaan-pertanyaan kepada publik.
The Guardian melakukan ini dengan cukup berhasil melalui Datablog yang mampu meningkatkan engagement dengan publik.
Contoh lain pernah dilakukan oleh sebuah radio di New York tahun 2010. Saat itu terjadi badai salju yang melumpuhkan New York, dan pihak pemerintah lokal menyatakan bahwa kondisi kota aman dan terkendali.
Padahal sesungguhnya, banyak daerah di New York yang masih terkurung salju dan butuh bantuan.
Radio WNYC melakukan aktivitas crowdsourcing dengan meminta warga memberitahukan kondisi di daerahnya melalui teks.
Radio WNYC kemudian menandainya di aplikasi Google Map. Peta tersebut dipublikasikan di web WNYC, dan orang-orang yang mengirimkan teks diminta membuat rekaman audio untuk melaporkan kondisinya. Rekaman tersebut disiarkan di radio.
Hasilnya menunjukkan, sebagian besar wilayah New York masih terkurung salju, kecuali pusat pemerintahan di Kota New York.
Contoh-contoh di atas memperlihatkan bahwa data digital menjadi sesuatu yang penting sebagai materi informasi saat sekarang.
Namun tidak selamanya pengolahan data itu mendapat apresiasi, karena menggali informasi digital yang terserak di dunia siber dapat mengeluarkan berbagai fakta sensitif yang sengaja disembunyikan dari publik.
Sebagai akibatnya, upaya jurnalis dalam memublikasikan hasil riset melalui Jurnalisme Data seringkali pada akhirnya harus diturunkan.
Bukan hanya karena ada pihak-pihak yang merasa "ditelanjangi", namun juga ada potensi lain yang dapat mengakibatkan chaos atau kekacauan di tengah masyarakat apabila informasi tersebut dibiarkan berada di media siber.