Yang menjadi pertanyaan, apakah Jurnalisme Data itu memang diperlukan dalam dunia jurnalisme saat ini?
Ataukah ini merupakan langkah yang terlalu jauh dalam kegiatan jurnalisme mengingat dapat terbongkarnya isu-isu sensitif?
Dapat dikatakan, Jurnalisme Data saat ini adalah sebuah keniscayaan. Mengapa demikian? Karena hari ini, informasi tentang sebuah kejadian dapat mengalir ke publik pada saat yang sama dari berbagai sumber, saksi mata, blog, ataupun status media sosial.
Setelah mengalir, kemudian ramai-ramai mencari "likes", dikomentari, dan kemudian lebih sering diabaikan.
Tidak ada nilai berita yang diperjuangkan, tidak ada upaya memberikan pengaruh positif kepada publik, selain hanya mencari sensasi dan popularitas.
Kejadian di Cibubur baru-baru ini menjadi alarm buat kita semua tentang bagaimana publik memperlakukan media digital. Pertengahan Juli 2022, terjadi kecelakaan di jalanan Kota Cibubur, yang mengakibatkan seorang korban terjepit.
Banyak orang di sekitarnya yang melihat kejadian, namun hanya satu orang yang kemudian bergerak menolong.
Yang lainnya sibuk membuat video di telepon genggam masing-masing karena ingin segera membagikan kejadian tersebut di jaringan media sosial.
Kasus di atas menunjukkan, teknologi informasi digital dan perkembangan komunikasi siber telah menciptakan dunia baru bagi popularitas dan cara masyarakat bersosialisasi.
Apabila tidak dijaga, kehadiran teknologi informasi tersebut dapat menurunkan segi-segi kemanusiaan dan menghilangkan nilai-nilai penting dari informasi itu sendiri.
Inilah mengapa Jurnalisme Data menjadi sangat penting. Sesuai dengan tujuan jurnalisme, kegiatan mengumpulkan, menyaring, dan memvisualisasikan apa yang terjadi juga harus mampu mengangkat nilai dan arti di luar apa yang dapat dilihat mata.
Dulu, hal ini sulit dilakukan karena keterbatasan kemampuan jurnalis dalam menginterpretasikan fakta yang ia temukan.
Saat ini, Jurnalisme Data dapat mencari hubungan-hubungan yang tidak terlihat langsung antara kegiatan sehari-hari setiap individu dengan isu global yang terjadi.
Data begitu terserak, dan jurnalis dengan bantuan teknologi dapat menjalin serakan tersebut menjadi sebuah hubungan yang masuk akal dan penting untuk diketahui.
Tentu saja, kemampuan menggali data yang terserak dan menginterpretasi fakta harus dibarengi kemampuan dan keterampilan untuk menjadi jurnalis yang objektif dan cakap dalam menganalisis data.
Apabila tidak, kekayaan materi informasi yang dimiliki jurnalis dapat disalahgunakan atau bahkan merugikan publik.
Cheryl Philips, jurnalis The Seattle Times, menyinggung pentingnya kemampuan menganalisis data sebagai kekuatan utama dalam Jurnalisme Data.
Menurut dia, beberapa kisah hanya dapat dipahami dan dijelaskan melalui analisis dan visualisasi data.
Tanpa adanya analisis, maka publik tidak akan dapat mengungkap hubungan antara seseorang dengan suatu kejadian, atau kematian yang disebabkan oleh kebijakan narkoba, atau adanya kebijakan lingkungan yang merusak lanskap tempat tinggal mereka.
Hal-hal tersebut dapat diatasi karena data yang diperoleh, dianalisis, dan diberikan kepada pembaca oleh jurnalis.
Data yang ada dapat saja rumit atau bahkan sesederhana daftar panggilan telepon dalam sehari, tetapi di dalamnya ada kisah yang layak diceritakan dan tidak terlihat oleh mata. Itulah nilai dari Jurnalisme Data bagi keutuhan informasi yang didapatkan publik.
Senada dengan itu, Philip Meyer, seorang profesor dari University of North Carolina berpendapat bahwa yang terpenting dalam mengaplikasikan Jurnalisme Data adalah bagaimana jurnalis memproses data yang mereka punya.
Dulu, ketika informasi masih sulit untuk didapat, fokus para jurnalis adalah berburu dan mengumpulkan data.
Sekarang, informasi begitu melimpah dan tak pernah berhenti mengalir. Maka, menurut Prof. Meyer, perlu dilakukan proses setidaknya pada dua tahap.
Pertama adalah proses analisis untuk menghadirkan makna dan struktur dari aliran data yang tidak pernah berakhir. Kedua, proses presentasi untuk menampilkan apa yang penting dan relevan dengan khalayak.
Pada akhirnya, data dalam kegiatan jurnalisme dapat dilihat sebagai sebuah pedang bermata dua.
Paul Bradshaw dari Birmingham City University menyatakan, data dapat menjadi sumber bagi Jurnalisme Data, dapat pula menjadi alat untuk menceritakan kisah berita, atau bahkan dapat menjadi keduanya.
Seperti layaknya sumber lain dalam kegiatan jurnalisme, data harus diperlakukan dengan skeptis; dan seperti layaknya alat pemberitaan lainnya, jurnalis harus selalu sadar bagaimana data dapat membentuk kisah dan membatasi berita yang dibuat sehingga akan memengaruhi bagaimana publik melihat fakta yang disajikan.
Semoga Jurnalisme Indonesia dapat melahirkan jurnalis-jurnalis yang cakap dalam memroses data, sehingga kepentingan masyarakat melalui perjuangan kebenaran akan selalu terjaga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.