Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dandi Supriadi, MA (SUT), PhD,
Dosen Jurnalistik

Kepala Kantor Komunikasi Publik Universtas Padjadjaran. Dosen Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad. Selain minatnya di bidang Jurnalisme Digital, lulusan pendidikan S3 bidang jurnalistik di University of Gloucestershire, Inggris ini juga merupakan staf peneliti Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Unpad.

Jurnalisme Data dalam Perbincangan Jurnalisme Digital

Kompas.com - 15/08/2022, 16:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DUNIA pers yang saat ini sudah sangat dipengaruhi oleh kehadiran teknologi informasi digital telah melahirkan pandangan-pandangan baru berkaitan dengan praktis jurnalisme.

Namun seringkali, pandangan baru tersebut sebenarnya merupakan pengembangan dari perspektif jurnalisme tradisional.

Sebagai contoh, saat ini kita kenal istilah gatekeeping, gatewatching, curation, crowdsourcing, citizen journalism, atau bahkan participatory journalism.

Apabila kita telaah, semua istilah yang mungkin dapat dianggap mewakili jurnalisme masa kini sebenarnya berakar dari filosofi kegiatan jurnalisme yang tidak berubah sejak kemunculannya yang tercatat di era Acta Diurna dahulu kala.

Filosofi dasar kegiatan jurnalisme tersebut adalah pengumpulan data dan fakta yang diolah menjadi informasi dan kemudian disiarkan dalam bentuk berita.

Dalam kajian jurnalistik, kegiatan jurnalisme biasa dirangkum dalam tahapan proses news gathering, news writing, news editing, news producing, dan news reporting.

Dari lima tahapan tersebut, empat di antaranya dapat dikatakan tidak pernah berubah sampai saat ini. Satu yang kemudian melahirkan banyak pandangan baru adalah yang pertama, yaitu tahapan news gathering atau pengumpulan materi berita.

Proses pengumpulan materi berita ini selalu berkembang setiap saat, karena mengikuti bagaimana materi tersebut tersebar dan dapat diakses sesuai teknologi yang tersedia.

Sebagai ilustrasi, pada zaman berkembangnya Acta Diurna sekitar 59 tahun sebelum masehi, penulis berita harus mengejar sumber informasi secara harfiah, yaitu berusaha bertemu fisik dan bertanya untuk kemudian mendapatkan jawaban secara langsung di tempat yang sama.

Hal tersebut berlangsung terus hingga setelah era penerbitan The Relation dan Avisa di Jerman pada tahun 1600-an yang dianggap sebagai surat kabar tercetak tertua.

Metode pengumpulan materi berita berubah ketika teknologi berkembang, seperti adanya penemuan mesin telegraf yang disusul telepon di tahun 1800-an. Wartawan dimungkinkan untuk melakukan pengumpulan informasi dari jarak jauh.

Lalu muncul teknologi radio akhir abad 19 dan disusul penemuan televisi tahun 1927-an, membuat kinerja wartawan dalam mengumpulkan informasi semakin berkembang.

Bukan hanya pengumpulannya, teknologi baru telah mengubah pola pendistribusian berita dan cara publik mendapatkan informasi.

Namun demikian, pada dasarnya kegiatan jurnalisme yang dilakukan adalah tetap sama. Tujuan news gathering tidak pernah berubah.

Perubahan terjadi hanya pada metode atau cara pengumpulannya. Inilah yang kemudian melahirkan banyak istilah yang seakan-akan membawa genre baru dalam dunia jurnalisme.

Selain istilah-istilah yang tercipta kemudian setelah inovasi teknologi melahirkan kesempatan-kesempatan baru, ada pula istilah jurnalisme yang sebenarnya telah ada sebelumnya untuk merefleksikan prinsip jurnalisme tradisional. Salah satunya adalah yang kita kenal sebagai Jurnalisme Data (data journalism).

Jurnalisme data dan jurnalisme digital

Penggunaan kata "data" dalam istilah ini memang serta-merta membuat kita berpikir untuk mengasimilasikan Jurnalisme Data dengan Jurnalisme Digital atau Jurnalisme Daring.

Itu terjadi karena pada masa sekarang kegiatan komunikasi melalui jaringan internet menjadi sangat lumrah. Istilah "data" pun seringkali diasosiasikan dengan aplikasi digital dan ketersediaan akses ke internet.

Alasan kedua mengapa Jurnalisme Data identik dengan Jurnalisme Digital adalah keberadaan informasi yang sangat tersebar di dunia siber, yang juga dalam istilah teknologi disebut data.

Pada saat bersamaan, ada pula istilah lain yang serupa untuk menggambarkan keberadaan informasi yang begitu banyak tersebut, yaitu Big Data.

Data sebenarnya dapat diartikan sebagai pendukung informasi yang berupa catatan atas pengumpulan fakta.

Seperti yang sering diungkapkan penulis buku Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Dani Vardiansyah (2008), data berasal dari kata Bahasa Latin datum, yang diterjemahkan secara bebas menjadi “sesuatu yang diberikan”.

Agar dapat dimengerti secara jelas, data harus diolah terlebih dahulu. Bentuk data biasanya berupa angka, bentuk-bentuk huruf atau karakter, simbol, tanda-tanda, isyarat, atau bahkan bunyi yang merepresentasikan keadaan sebenarnya.

Karakteristik data yang perlu diolah inilah yang kemudian sering diasosiasikan dengan kegiatan yang menggunakan komputer, karena data inilah yang digunakan sebagai input suatu sistem informasi.

Kenyataannya, data selalu menjadi bagian dari informasi yang sejak dahulu didapatkan oleh para wartawan sebelum era komputerisasi.

Bedanya, dulu data tersebut diolah secara manual dan diinterpretasi oleh pengumpul materi berita menjadi informasi bermakna, sehingga tidak secara khusus disebut sebagai kegiatan Jurnalisme Data.

Namun, data selalu menjadi hal penting dalam kegiatan jurnalisme, karena membuat jurnalis memiliki kesempatan untuk memverifikasi suatu fakta tersirat, mengetahui lebih dalam tentang sebuah informasi, mendapatkan informasi baru, dan membuat informasi menjadi lebih mudah dimengerti publik.

Itu semua adalah esensi dari kerja jurnalisme, sehingga dapat dikatakan bahwa Jurnalisme Data adalah definisi kegiatan jurnalisme yang paling mendasar sejak awal keberadaannya.

Lalu apakah Jurnalisme Data memang hanya berlaku untuk kegiatan jurnalisme di masa digital saat ini?

Pada akhirnya, istilah Jurnalisme Data memang digunakan untuk menyebut kegiatan jurnalisme yang berhubungan dengan teknologi digital.

Dalam The Handbook of Data Journalism yang disunting oleh Jonathan Gray, Liliana Bounegru, dan Lucy Chambers (2012), secara khusus dikatakan bahwa Jurnalisme Data memang hadir di dunia digital seperti saat ini, di mana hampir segala hal dapat direpresentasikan dengan angka-angka.

Seperti yang kita ketahui, teknologi digital identik dengan algoritma yang terdiri dari angka-angka (secara teknis terdiri dari 0 dan 1).

Gray, Bounegru, dan Chambers menyinggung pula bahwa "data" dan "jurnalisme" adalah dua istilah yang kompleks dan saling terkait. Jurnalisme sudah bersinggungan dengan data sejak dulu.

Sekitar 20 tahun yang lalu, orang mungkin hanya berpikir bahwa "data" adalah kumpulan angka-angka yang biasanya disajikan dalam bentuk tabel atau spreadsheet, di mana jurnalis harus menginterpretasikannya sendiri.

Namun di masa sekarang, semuanya adalah data berbentuk digital di mana angka-angka menjadi materi pembentuk informasi itu sendiri.

Dokumen pemerintah, data kepolisian, gambar, foto, video, semuanya sudah dalam bentuk informasi digital perpaduan angka 0 dan 1.

Artinya, di masa sekarang data menjadi lebih mudah untuk dikumpulkan, dan dengan bantuan teknologi saat ini, lebih mudah pula untuk diinterpretasikan.

Kegiatan seperti inilah yang membuat Jurnalisme Data menjadi seakan-akan sebuah genre tersendiri. Bahkan dapat dikatakan, semua kegiatan jurnalisme saat ini harus melibatkan Jurnalisme Data.

Dalam buku yang mereka sunting tersebut, Gray, Bounegru, dan Chambers menyebutkan sebuah kemungkinan mengapa hal itu terjadi, dan mengapa Jurnalisme Data menjadi begitu spesial di antara bentuk-bentuk jurnalisme lain.

Mereka menyebutkan, Jurnalisme Data membuka kemungkinan baru untuk mengombinasikan prinsip jurnalisme tradisional "nose for news" dengan kemampuan untuk membangun kisah atau berita melalui ketersediaan informasi digital. Kemungkinan baru tersebut dapat muncul dalam semua tahapan proses jurnalisme.

Misalnya, saat jurnalis menggunakan programming untuk mengotomatisasi pengumpulan dan penggabungan informasi dari pemerintah, kepolisian, atau sumber lain yang berkaitan dengan masyarakat.

Atau menggunakan perangkat lunak untuk mencari keterkaitan dari tumpukan ribuan dokumen.

Beberapa contoh kemungkinan implementasi Jurnalisme Data seperti di atas pernah dilakukan oleh berbagai lembaga.

Tidak hanya media massa arus utama, kompilasi data dan pengolahan dengan menggunakan perangkat lunak juga digunakan oleh media-media alternatif atau individu yang berupaya menghadirkan fakta yang sebenar-benarnya melalui media daring. Upaya yang juga seringkali dinilai terlalu sensitif untuk dipublikasikan.

Salah satunya dilakukan oleh Adrian Holovaty, seorang jurnalis dan pengembang web dari Amerika Serikat yang dikenal sebagai cocreator aplikasi kerangka web berbasis Python bernama Django.

Ia pernah membuat sebuah web untuk mengetahui dan menganalisis kejadian kriminal di Chicago, dengan menggunakan aplikasi otomatisasi pengumpulan dan penggabungan informasi dari berbagai sumber termasuk kepolisian dan pemerintah daerah.

Contoh lain adalah informasi tentang bagaimana kondisi pengeluaran keuangan para anggota parlemen Inggris yang dilakukan oleh The Telegraph.

Media ini menggunakan perangkat lunak khusus untuk mencari keterkaitan informasi di antara ribuan dokumen yang ada. Tentu saja ini termasuk informasi yang sangat sensitif yang kemudian tidak dapat lagi diakses saat ini.

Jurnalis juga dapat menggunakan Jurnalisme Data dalam bentuk infografis untuk menampilkan kisah yang kompleks, atau menjelaskan hubungan antara sebuah kisah dengan seorang figur.

Associated Press (AP) pernah memublikasikan analisisnya yang diambil dari data perang AS di Irak.

Data yang diperoleh sangatlah kompleks dan banyak, menyangkut berbagai aspek yang terjadi di lapangan termasuk kejadian kriminal, gerakan musuh, bahaya ledakan, kegiatan yang tidak berbahaya, laporan ancaman, bahkan insiden-insiden yang mencurigakan.

Apabila disajikan dalam bentuk data mentah, tentu akan membingungkan. Sebagai alternatif yang juga menarik perhatian khalayak, data tersebut kemudian ditampilkan dalam bentuk infografis disertai angka persentase yang mudah dipahami, walaupun tetap kontroversial.

Infografis untuk menganalisis data saat perang 
AP dalam The Handbook of Data Journalism, 2012 Infografis untuk menganalisis data saat perang
Yang paling utama, Jurnalisme Data dapat membantu proses news gathering, termasuk melakukan penyebaran data, konteks, dan pertanyaan-pertanyaan kepada publik.

The Guardian melakukan ini dengan cukup berhasil melalui Datablog yang mampu meningkatkan engagement dengan publik.

Contoh lain pernah dilakukan oleh sebuah radio di New York tahun 2010. Saat itu terjadi badai salju yang melumpuhkan New York, dan pihak pemerintah lokal menyatakan bahwa kondisi kota aman dan terkendali.

Padahal sesungguhnya, banyak daerah di New York yang masih terkurung salju dan butuh bantuan.

Radio WNYC melakukan aktivitas crowdsourcing dengan meminta warga memberitahukan kondisi di daerahnya melalui teks.

Radio WNYC kemudian menandainya di aplikasi Google Map. Peta tersebut dipublikasikan di web WNYC, dan orang-orang yang mengirimkan teks diminta membuat rekaman audio untuk melaporkan kondisinya. Rekaman tersebut disiarkan di radio.

Hasilnya menunjukkan, sebagian besar wilayah New York masih terkurung salju, kecuali pusat pemerintahan di Kota New York.

Peta di aplikasi Google Map yang menunjukkan daerah-daerah berwarna putih yang berarti masih terdampak salju. 
Mindy McAdams, 2011 mengutip wnyc.org Peta di aplikasi Google Map yang menunjukkan daerah-daerah berwarna putih yang berarti masih terdampak salju.
Setelah upaya WNYC tersebut, berbagai pihak langsung melakukan pembersihan salju dan pertolongan, sehingga daerah-daerah yang terdampak berhasil dibersihkan dari salju empat hari setelah terjadinya badai.

Jurnalisme Data, apakah perlu?

Contoh-contoh di atas memperlihatkan bahwa data digital menjadi sesuatu yang penting sebagai materi informasi saat sekarang.

Namun tidak selamanya pengolahan data itu mendapat apresiasi, karena menggali informasi digital yang terserak di dunia siber dapat mengeluarkan berbagai fakta sensitif yang sengaja disembunyikan dari publik.

Sebagai akibatnya, upaya jurnalis dalam memublikasikan hasil riset melalui Jurnalisme Data seringkali pada akhirnya harus diturunkan.

Bukan hanya karena ada pihak-pihak yang merasa "ditelanjangi", namun juga ada potensi lain yang dapat mengakibatkan chaos atau kekacauan di tengah masyarakat apabila informasi tersebut dibiarkan berada di media siber.

Yang menjadi pertanyaan, apakah Jurnalisme Data itu memang diperlukan dalam dunia jurnalisme saat ini?

Ataukah ini merupakan langkah yang terlalu jauh dalam kegiatan jurnalisme mengingat dapat terbongkarnya isu-isu sensitif?

Dapat dikatakan, Jurnalisme Data saat ini adalah sebuah keniscayaan. Mengapa demikian? Karena hari ini, informasi tentang sebuah kejadian dapat mengalir ke publik pada saat yang sama dari berbagai sumber, saksi mata, blog, ataupun status media sosial.

Setelah mengalir, kemudian ramai-ramai mencari "likes", dikomentari, dan kemudian lebih sering diabaikan.

Tidak ada nilai berita yang diperjuangkan, tidak ada upaya memberikan pengaruh positif kepada publik, selain hanya mencari sensasi dan popularitas.

Kejadian di Cibubur baru-baru ini menjadi alarm buat kita semua tentang bagaimana publik memperlakukan media digital. Pertengahan Juli 2022, terjadi kecelakaan di jalanan Kota Cibubur, yang mengakibatkan seorang korban terjepit.

Banyak orang di sekitarnya yang melihat kejadian, namun hanya satu orang yang kemudian bergerak menolong.

Yang lainnya sibuk membuat video di telepon genggam masing-masing karena ingin segera membagikan kejadian tersebut di jaringan media sosial.

Kasus di atas menunjukkan, teknologi informasi digital dan perkembangan komunikasi siber telah menciptakan dunia baru bagi popularitas dan cara masyarakat bersosialisasi.

Apabila tidak dijaga, kehadiran teknologi informasi tersebut dapat menurunkan segi-segi kemanusiaan dan menghilangkan nilai-nilai penting dari informasi itu sendiri.

Inilah mengapa Jurnalisme Data menjadi sangat penting. Sesuai dengan tujuan jurnalisme, kegiatan mengumpulkan, menyaring, dan memvisualisasikan apa yang terjadi juga harus mampu mengangkat nilai dan arti di luar apa yang dapat dilihat mata.

Dulu, hal ini sulit dilakukan karena keterbatasan kemampuan jurnalis dalam menginterpretasikan fakta yang ia temukan.

Saat ini, Jurnalisme Data dapat mencari hubungan-hubungan yang tidak terlihat langsung antara kegiatan sehari-hari setiap individu dengan isu global yang terjadi.

Data begitu terserak, dan jurnalis dengan bantuan teknologi dapat menjalin serakan tersebut menjadi sebuah hubungan yang masuk akal dan penting untuk diketahui.

Tentu saja, kemampuan menggali data yang terserak dan menginterpretasi fakta harus dibarengi kemampuan dan keterampilan untuk menjadi jurnalis yang objektif dan cakap dalam menganalisis data.

Apabila tidak, kekayaan materi informasi yang dimiliki jurnalis dapat disalahgunakan atau bahkan merugikan publik.

Cheryl Philips, jurnalis The Seattle Times, menyinggung pentingnya kemampuan menganalisis data sebagai kekuatan utama dalam Jurnalisme Data.

Menurut dia, beberapa kisah hanya dapat dipahami dan dijelaskan melalui analisis dan visualisasi data.

Tanpa adanya analisis, maka publik tidak akan dapat mengungkap hubungan antara seseorang dengan suatu kejadian, atau kematian yang disebabkan oleh kebijakan narkoba, atau adanya kebijakan lingkungan yang merusak lanskap tempat tinggal mereka.

Hal-hal tersebut dapat diatasi karena data yang diperoleh, dianalisis, dan diberikan kepada pembaca oleh jurnalis.

Data yang ada dapat saja rumit atau bahkan sesederhana daftar panggilan telepon dalam sehari, tetapi di dalamnya ada kisah yang layak diceritakan dan tidak terlihat oleh mata. Itulah nilai dari Jurnalisme Data bagi keutuhan informasi yang didapatkan publik.

Senada dengan itu, Philip Meyer, seorang profesor dari University of North Carolina berpendapat bahwa yang terpenting dalam mengaplikasikan Jurnalisme Data adalah bagaimana jurnalis memproses data yang mereka punya.

Dulu, ketika informasi masih sulit untuk didapat, fokus para jurnalis adalah berburu dan mengumpulkan data.

Sekarang, informasi begitu melimpah dan tak pernah berhenti mengalir. Maka, menurut Prof. Meyer, perlu dilakukan proses setidaknya pada dua tahap.

Pertama adalah proses analisis untuk menghadirkan makna dan struktur dari aliran data yang tidak pernah berakhir. Kedua, proses presentasi untuk menampilkan apa yang penting dan relevan dengan khalayak.

Pada akhirnya, data dalam kegiatan jurnalisme dapat dilihat sebagai sebuah pedang bermata dua.

Paul Bradshaw dari Birmingham City University menyatakan, data dapat menjadi sumber bagi Jurnalisme Data, dapat pula menjadi alat untuk menceritakan kisah berita, atau bahkan dapat menjadi keduanya.

Seperti layaknya sumber lain dalam kegiatan jurnalisme, data harus diperlakukan dengan skeptis; dan seperti layaknya alat pemberitaan lainnya, jurnalis harus selalu sadar bagaimana data dapat membentuk kisah dan membatasi berita yang dibuat sehingga akan memengaruhi bagaimana publik melihat fakta yang disajikan.

Semoga Jurnalisme Indonesia dapat melahirkan jurnalis-jurnalis yang cakap dalam memroses data, sehingga kepentingan masyarakat melalui perjuangan kebenaran akan selalu terjaga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com