Walau partisipasi politik semacam itu sah-sah saja dalam pertarungan elektoral yang demokratis, namun mundur secara kualitas, mendidik rakyat menanam benih-benih kebencian sosial yang berkepanjangan sehingga dapat merusak karakter keberagaman bangsa.
Berbicara soal partisipasi politik dan motivasi yang melatarbelakanginya, secara teoritis, Huntington dan Nelson (1977), membagi partisipasi politik menjadi dua.
Pertama, partisipasi otonom, yaitu partisipasi politik yang didorong oleh keinginan pelakunya sendiri untuk melakukan tindakan tersebut.
Kedua adalah partisipasi mobilisasi, yaitu partisipasi yang digerakkan (mobilization) atau diinginkan oleh orang lain, bukan karena kesadaran atau keinginan pelakunya sendiri.
Oleh karena itu, sangat mungkin di tengah pandemi yang belum berakhir, pertarungan politik pada pemilu 2024 ke depan akan diwarnai oleh massifnya mobilisasi isu.
Mengingat kehadiran secara fisik dibatasi, maka peran teknologi informasi, media sosial, dan sarana-sarana informatif digital lainnya akan sangat menentukan.
Dunia gital mengalami perkembangannya sebagai ruang publik virtual yang secara bersamaan menghadirkan privasi dan publikasi.
Kegelisahan sosial masyarakat saat ini disalurkan melalui media sosial sebagai ruang publik ketika media massa konvensional tidak mampu menampungnya dalam batas-batas tertentu.
Dalam hubungan itu, pada ruang publik terdapat nilai-nilai demokrasi untuk kepentingan bersama (publik). Nilai-nilai demokrasi inilah yang menjadikan ruang publik menjadi politis (political public sphere) yang menjadi jembatan antara kepentingan publik dan negara (Habermas: 1991).
Dalam perkembangannya ruang publik menghadapi kompleksitas kehidupan dan sistem, setelah melalui hubungan dialektis terbentuk konsesus rasional, terbangunlah gagasan “demokrasi deliberatif”. Proses pemberian suatu alasan atas rumusan kebijakan publik diuji lebih dahulu oleh konsultasi publik atau melalui diskursus publik (Hardiman: 2004).
Diskursus akan terjamin bila dibangun di atas bangunan struktur politik dan hukum (Habermas: 1996).
Penciptaan ruang-ruang publik untuk mengintervensi isu-isu dalam konteks kepemiluan sangat dimungkinkan, walaupun harus melalui prosedur birokratis.
Bentuk dari intervensi isu tersebut, pertama, perangkat hukum berupa aturan teknis dari lembaga negara yang independen seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat memfasilitasinya.
Seperti, misalnya, syarat administrasi untuk menjadi calon anggota legislatif atau calon presiden dan wakil presiden harus disertakan karya tulis dengan memilih satu tema Hak Asasi Manusia, lingkungan hidup, pendidikan dan kesehatan, teknologi, atau lainnya.
Selanjutnya, pada masa tahapan kampanye baik dalam kampanye terbuka, tatap muka, maupun melalui media online karya tulis terebut kembali wajib disertakan dalam berbagai bentuknya.