"Di sana lah, di Istana, disuruh pulang sama Gus Dur waktu itu, aku dipanggil. Itu kira-kira dua minggu sebelum akhirnya beliau lengser," kenang Alissa.
"Bawa Ibu sama adik-adikmu pulang. Semua barang-barangnya bawa pulang," ucapnya menirukan tutur ayahnya.
Alissa menolak. Keluarga menolak. Mereka bercermin dari pengalaman pahit Soekarno yang lengser begitu tampuk kekuasaan direbut Soeharto.
"Bung Karno itu kan enggak ada orang waktu itu. Intinya, keluarga enggak tahu kan. Mbak Mega (Megawati Soekarnoputri) pulang sekolah kaget karena bapaknya sudah enggak ada. Kan gitu ceritanya, tahu-tahunya sudah di Istana Bogor dan keluarga Bung Karno kesulitan menjenguk Bung Karno dan memberikan perawatan medis yang memadai untuk kondisi beliau," tuturnya.
Baca juga: Cerita di Balik Celana Pendek Gus Dur Saat Menyapa Pendukungnya dari Istana
Gus Dur saat itu sudah pernah menderita stroke dan kondisi penglihatannya terus menurun akibat diabetes yang dialaminya. Meski stamina Gus Dur setangguh badak, fisiknya rentan.
"Tapi ini kondisi sudah bahaya, Nak, kita enggak tahu apa yang akan terjadi," kata Gus Dur.
Alissa ingat dirinya menangis dan memohon agar dapat terus mendampingi ayahnya, apa pun yang terjadi, ke mana pun sang ayah mungkin akan dibawa.
"Aku itu enggak pernah melawan Bapak. Itu kali pertama. Dan juga enggak pernah minta. Gus Dur bukan tipe orang yang bisa diminta-minta dan enggak pernah minta. Sekali itu saja," ucap Alissa.
Baca juga: Napak Tilas Poros Tengah yang Usung Gus Dur di Pemilihan Presiden 1999
"Kami bilang, pokoknya di mana pun bapak berada kami ikut. Terus Bapak bilang, 'Tapi kalau kalian di sini, Bapak kepikiran'. Ya sudah, mau bagaimana lagi, kami tidak akan meninggalkan Bapak."
Gus Dur tak pernah mau takluk dengan serangan demi serangan yang melemahkan reputasinya, bahkan tawaran-tawaran yang sebenarnya dapat memperkuat konsolidasi politik pemerintahannya.
Ia menolak, misalnya, tawaran untuk memberikan kekuasaan yang besar bagi Megawati, wakilnya waktu itu, sebagai kepala pemerintahan, sedang dirinya dijadikan kepala negara.