JAKARTA, KOMPAS.com - Krisis politik yang dialami Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid jelang akhir masa jabatannya rupanya sempat membuat kiai yang akrab disapa Gus Dur itu meminta keluarganya evakuasi.
Saat itu, Juli 2001, dukungan politik atas pemerintahan Wahid semakin merosot.
Sejarah mencatat, pada bulan yang sama, MPR RI mencabut mandat Gus Dur sebagai presiden saat masa jabatannya baru berumur 1 tahun 9 bulan.
Putri sulung Gus Dur, Alissa Qotrunnada, masih ingat betul bagaimana krisis politik itu bukan hanya mengancam jabatan ayahnya, namun juga berpotensi mengancam dalam arti sesungguhnya.
Baca juga: Air Mata Gus Dur Mengalir sebelum Terbitkan Dekrit
"Saat itu, aku baru melahirkan, anakku baru 40 hari," ujar Alissa ketika berbincang dengan Kompas.com, Jumat (22/7/2022).
Empat putri Gus Dur juga istrinya, Sinta Nuriyah, tinggal di Istana ketika itu.
Gus Dur memilih kamar di belakang ruang bendera pusaka, sisi timur Istana. Sementara itu, Alissa kedapatan kamar yang lebih luas, bekas Soeharto, di sisi barat Istana.
"Karena aku yang menempati di sini, maka keramaian orang demo itu aku yang lihat. Stres banget, selama hamil, aku stres banget karena (demo) itu kan terus," ungkapnya.
Baca juga: Langkah Gus Dur Copot JK dan Laksamana Sukardi Berujung Murka Koalisi
Usai melahirkan anak pertamanya itu, Alissa pilih menyewa sebuah apartemen di bilangan Senen, Jakarta Pusat, untuk menghindari ingar-bingar Istana. Namun, setiap pagi, ia menyambangi ayahnya.
Krisis politik terus menjadi-jadi. Gelombang unjuk rasa di depan Istana tak kenal henti, begitu pun massa pendukung Gus Dur yang juga tak kenal lelah menyuarakan dukungan hingga menghelat istigasah untuk sang kiai.
Baca juga: Gus Dur: Tak Ada Jabatan yang Layak Dipertahankan dengan Pertumpahan Darah
Aroma pemakzulan Gus Dur oleh parlemen sudah tercium, meski secara resmi MPR RI mengagendakan Sidang Istimewa pada 1 Agustus 2022 karena Memorandum I (tuduhan kasus Bruneigate) dan Memorandum II ( tuduhan kasus Buloggate) telah dilayangkan.
Situasi terburuk yang dapat dibayangkan ketika itu adalah, bentrokan sampai pertumpahan darah tak terhindarkan dalam pemakzulan. Di sisi lain, dalam preseden kudeta di beberapa negara, keselamatan presiden petahana dalam ancaman serius.
"Di sana lah, di Istana, disuruh pulang sama Gus Dur waktu itu, aku dipanggil. Itu kira-kira dua minggu sebelum akhirnya beliau lengser," kenang Alissa.
"Bawa Ibu sama adik-adikmu pulang. Semua barang-barangnya bawa pulang," ucapnya menirukan tutur ayahnya.
Alissa menolak. Keluarga menolak. Mereka bercermin dari pengalaman pahit Soekarno yang lengser begitu tampuk kekuasaan direbut Soeharto.
"Bung Karno itu kan enggak ada orang waktu itu. Intinya, keluarga enggak tahu kan. Mbak Mega (Megawati Soekarnoputri) pulang sekolah kaget karena bapaknya sudah enggak ada. Kan gitu ceritanya, tahu-tahunya sudah di Istana Bogor dan keluarga Bung Karno kesulitan menjenguk Bung Karno dan memberikan perawatan medis yang memadai untuk kondisi beliau," tuturnya.
Baca juga: Cerita di Balik Celana Pendek Gus Dur Saat Menyapa Pendukungnya dari Istana
Gus Dur saat itu sudah pernah menderita stroke dan kondisi penglihatannya terus menurun akibat diabetes yang dialaminya. Meski stamina Gus Dur setangguh badak, fisiknya rentan.
"Tapi ini kondisi sudah bahaya, Nak, kita enggak tahu apa yang akan terjadi," kata Gus Dur.
Alissa ingat dirinya menangis dan memohon agar dapat terus mendampingi ayahnya, apa pun yang terjadi, ke mana pun sang ayah mungkin akan dibawa.
"Aku itu enggak pernah melawan Bapak. Itu kali pertama. Dan juga enggak pernah minta. Gus Dur bukan tipe orang yang bisa diminta-minta dan enggak pernah minta. Sekali itu saja," ucap Alissa.
Baca juga: Napak Tilas Poros Tengah yang Usung Gus Dur di Pemilihan Presiden 1999
"Kami bilang, pokoknya di mana pun bapak berada kami ikut. Terus Bapak bilang, 'Tapi kalau kalian di sini, Bapak kepikiran'. Ya sudah, mau bagaimana lagi, kami tidak akan meninggalkan Bapak."
Gus Dur tak pernah mau takluk dengan serangan demi serangan yang melemahkan reputasinya, bahkan tawaran-tawaran yang sebenarnya dapat memperkuat konsolidasi politik pemerintahannya.
Ia menolak, misalnya, tawaran untuk memberikan kekuasaan yang besar bagi Megawati, wakilnya waktu itu, sebagai kepala pemerintahan, sedang dirinya dijadikan kepala negara.
Bukan perkara apa-apa, menurut cucu Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari itu, hal tersebut inkonstitusional.
Puncaknya, ia juga tak berkenan untuk meninggalkan Istana karena pemakzulan oleh Amien Rais cs inkonstitusional.
Bertahan di Istana, bagi Gus Dur, adalah soal idealisme, sedangkan bagi keluarganya, itu adalah soal cinta.
Baca juga: Damai Sesaat di Istana, Kala Gus Dur Selesai Shalat Malam Jelang Dilengserkan MPR...
Pada akhirnya, Gus Dur dengan legawa meninggalkan Istana itu begitu tahu kemungkinan pertumpahan darah kian nyata saat ribuan massa pendukungnya tiba dan sedang dalam perjalanan ke Jakarta.
Bagi Gus Dur, itu bukan lagi perkara idealisme, tapi soal cinta. Bagi bangsa.
"Tidak ada satu pun jabatan di dunia ini yang layak dipertahankan mati-matian," ucap Gus Dur sebelum pergi meninggalkan Istana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.