JAKARTA, KOMPAS.com - Upaya legalisasi ganja medis di Indonesia menemui jalan terjal. Gagasan ini telah disuarakan berulang kali, tetapi tak kunjung membuahkan hasil.
Bukan tanpa alasan sejumlah pihak ingin ganja dilegalkan untuk kepentingan medis. Masih lekat dalam ingatan, kisah ganja Fidelis Arie Sudewarto untuk istrinya Yeni Riawati yang menghebohkan publik pada awal 2017.
Fidelis, warga asal Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat itu menanam ganja di halaman rumahnya untuk mengobati Yeni yang didiagnosa menderita syringomyelia atau tumbuhnya kista berisi cairan atau syrinx dalam sumsum tulang belakang.
Penyakit ini membuat kondisi tubuh Yeni memprihatikan. Dia sulit tidur, tak bisa menelan makanan, bahkan banyak luka terbuka di sekujur tubuhnya.
Namun, sejak mendapat pengobatan ganja medis, kondisi Yeni berangsur-angsur membaik.
Baca juga: MK Tolak Uji Materi UU Narkotika tentang Penggunaan Ganja Medis untuk Kesehatan
Sayang, keceriaan itu tak berlangsung lama. Pada 19 Februari 2017, petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap Fidelis karena kedapatan menanam 39 batang pohon ganja di rumahnya.
Fidelis pun ditahan oleh BNN Kabupaten Sanggau. Ekstrak ganja untuk Yeni dimusnahkan. Artinya, pengobatan ganja untuk Yeni berakhir.
Dari situ, kondisi Yeni yang semula sudah membaik mengalami kemunduran. Tepat 32 hari setelah Fidelis ditangkap BNN, Yeni mengembuskan napas terakhir.
Sementara, kasus hukum Fidelis terus bergulir. Pada Agustus 2017, dia divonis 8 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar atau subsider 1 bulan penjara.
Baca juga: Alasan MK Tolak Uji Materi UU Narkotika soal Ganja Medis: Potensi Ketergantungan Tinggi
Kasus ini sempat menuai polemik. Berangkat dari situ, legalisasi ganja untuk kepentingan pengobatan digembar-gemborkan.
Upaya legalisasi ganja medis juga pernah disuarakan Dwi Pertiwi, ibu dari Musa IBN Hassan Pedersen, anak laki-laki berusia 16 tahun yang mengidap cerebral palsy.
Bersama dua ibu lainnya, Dwi Pertiwi mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2020.
Lewat gugatan ini, Dwi ingin mengupayakan pengobatan ganja demi kesembuhan putranya.
Namun, belum sampai mendapatkan pengobatan ganja, Musa akhirnya meninggal dunia. Putra Dwi Pertiwi itu mengembuskan napas terakhir sebulan setelah gugatan ke MK diajukan tepatnya 26 Desember 2020.
Gugatan terhadap UU Narkotika itu diajukan Dwi Pertiwi bersama Nafiah Muharyanti dan Santi Warastuti. Keduanya juga ingin ganja medis dilegalkan lantaran anak mereka sakit dan membutuhkan pengobatan ekstrak ganja.
Belum lama ini, nama Santi Warastuti menuai sorotan. Aksinya membawa poster bertuliskan "Tolong, anakku butuh ganja medis" di Car Free Day (CFD) Bundaran HI Jakarta, Minggu (26/6/2022), viral di media sosial.
Baca juga: MK Minta Pemerintah Segera Kaji Ganja Medis untuk Kebutuhan Kesehatan
Putri Santi yang bernama Pika rupanya mengidap cerebral palsy. Oleh karenanya, dia membutuhkan pengobatan cannabis oil (CBD) yang terbuat dari ekstrak ganja untuk Pika.
Lantaran UU Nomor 35 Tahun 2009 melarang penggunaan narkotika untuk kepentingan medis, pengobatan ini menjadi terhalang.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.