Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK Dianggap Paksakan Penetapan Tersangka Mardani Maming, Ini Alasan Kuasa Hukum

Kompas.com - 19/07/2022, 18:08 WIB
Irfan Kamil,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kuasa hukum mantan bupati Tanah Bumbu Mardani H Maming, Denny Indrayana menilai, penetapan tersangka terhadap kliennya dipaksakan.

Denny menilai, langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadikan Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi (LKTPK) sebagai dasar dalam mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang di dalamnya sudah terdapat penetapan Maming sebagai tersangka tidak dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan bukan produk pro justitia.

Menurut dia, proses penyelidikan berdasarkan Pasal 1 Ayat (5) KUHAP bertujuan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.

Baca juga: Kubu Mardani Maming Tuding KPK Inkonsisten Gunakan Pasal saat Penyidikan

Sehingga, LKTPK dalam tahapan ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka.

"Faktanya, pemohon (Maming) telah ditetapkan sebagai tersangka oleh termohon (KPK) tanpa terlebih dahulu dilakukan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP," ujar Denny dalam persidangan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (19/7/2022).

"Mengingat proses penyelidikan bukanlah proses pro justitia, maka terhadap seluruh informasi, data dan keterangan yang telah didapatkan sebelumnya perlu divalidasi dan diperiksa kembali pada saat proses penyidikan," papar dia.

Menurut Denny, komisi antirasuah itu seyogyanya terlebih dahulu memeriksa kembali saksi-saksi dalam proses penyidikan, yang sebelumnya telah diambil keterangannya dalam proses penyelidikan.

Baca juga: Bakal Hadir di Sidang Praperadilan Mardani Maming, KPK: Kami Yakin Permohonan Ditolak

Selanjutnya, ujar dia, KPK harus mengumpulkan dan meningkatkan status barang bukti yang diperoleh dalam proses penyelidikan untuk menjadi alat bukti yang sah dalam proses penyidikan.

"Setelahnya, barulah dapat ditetapkan tersangka tindak pidananya. Akan tetapi, dalam perkara a quo, pemohon telah ditetapkan terlebih dahulu sebagai tersangka tanpa adanya proses pemeriksaan saksi dan alat bukti lainnya melalui proses penyidikan yang bersifat pro justitia," terang Denny.

Lebih lanjut, mantan wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) berpendapat, selain melanggar prosedur penetapan tersangka, KPK juga telah melakukan serangkaian upaya paksa lainnya termasuk terbitnya surat pencegahan bagi Maming untuk bepergian keluar negeri di hari dan tanggal yang sama dengan keluarnya Sprindik yakni pada tanggal 16 Juni 2022.

Tak hanya itu, rekening pribadi Bendahara Umum (Bendum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu juga dimohonkan untuk diblokir.

Baca juga: KPK Segera Panggil Maming sebagai Tersangka Suap Izin Tambang untuk Kedua Kalinya

"Maka semakin terang dan jelas tindakan termohon baik dalam mengeluarkan surat LKTPK tertanggal 9 Juni 2022, tindakan penyidikan maupun penetapan tersangka, tidak disertai 2 alat bukti yang sah dan prosedur yang berlaku," papar Denny.

"Hal demikian disebabkan karena patut diduga termohon belum melakukan pemeriksaan apapun dalam proses penyidikan, tetapi langsung menetapkan tersangka," ucapnya.

Berdasarkan penelusuran Kompas.com pada situs SIPP PN Jakarta Selatan, gugatan praperadilan Maming tercatat dengan nomor perkara 55/Pid.Prap/2022/PN JKT.SEL.

Baca juga: Tanggapi Kuasa Hukum Maming, KPK Sesalkan Adanya Penggiringan Opini

Dalam petitumnya, Bendahara Umum (Bendum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini meminta hakim tunggal praperadilan mengabulkan gugatan praperadilannya. Maming meminta agar status tersangkanya dinyatakan tidak sah.

"Menyatakan penetapan pemohon sebagai tersangka yang dilakukan oleh termohon sebagaimana tertuang dalam Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Dik 61/DIK.00/01/06/2022 tertanggal 16 Juni 2022 adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum dan oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi petitum tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com