KOMPAS.com – Konvensi Wina 1963 merupakan konvensi mengenai hubungan konsuler beserta protokol opsionalnya mengenai hal memperoleh kewarganegaraan.
Konvensi ini dibuat pada tanggal 24 April 1963 di Wina dan mulai berlaku pada tanggal 19 Maret 1967.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan konvensi ini sebagai pedoman dalam hubungan internasional.
Lalu, bagaimana isi Konvensi Wina 1963 tersebut?
Baca juga: Mantan Presiden Rusia Sebut Moskwa Tak Lagi Butuh Hubungan Diplomatik dengan Barat
Selain hubungan diplomatik, dalam pergaulan internasional dikenal pula hubungan konsuler. Hubungan konsuler merupakan hubungan antarnegara di bidang perdagangan dan pelayaran.
Awalnya, seorang konsul hanya mengurusi kepentingan warga negara yang ada di negara penerima, terutama terkait masalah privat dan bukan kepentingan negara atau publik.
Namun, dalam perkembangannya, konsul yang ditugaskan di suatu negara bukan hanya mewakili negaranya di bidang perdagangan saja, tetapi juga melayani warga negaranya yang berada di negara tersebut.
Pengaturan hubungan konsuler dan perwakilan konsuler yang berkembang melalui tahap-tahap pertumbuhan hukum kebiasaan internasional ini baru dikodifikasi pada tahun 1963 melalui Konvensi Wina.
Konvensi Wina 1963 mengenai hubungan konsuler yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) terdiri atas 79 Pasal.
Konvensi ini antara lain mengatur tentang hubungan konsuler pada umumnya, fasilitas, keistimewaan dan kekebalan kantor perwakilan konsuler, para pejabat konsuler dan anggota keluarganya, pejabat konsuler kehormatan, dan konsulat kehormatan lainnya.
Konvensi Wina Tahun 1963 ini menjadi penting untuk meningkatkan hubungan antarbangsa tanpa membedakan ideologi, sistem politik atau sistem sosial.
Sebagaimana diketahui, hubungan konsuler dengan negara lain merupakan hal yang sangat penting bagi sebuah negara untuk maju dan berkembang.
Selain itu, tujuan diberikannya keistimewaan dan kekebalan diplomatik melalui Konvensi Wina Tahun 1963 ini adalah untuk menjamin fungsi perwakilan konsuler terlaksana secara efektif dan efisien.
Dalam dinamika ekonomi global seperti saat ini, hubungan konsuler bukan lagi merupakan hubungan yang bersifat eksklusif.
Semua negara di seluruh dunia membutuhkan hubungan konsuler demi menjamin keberadaandan kebutuhan warga negaranya yang semakin kompleks.
Konvensi Wina 1963 juga dilengkapi dengan protokol opsional mengenai hal memperoleh kewarganegaraan dan protokol opsional mengenai penyelesaian sengketa secara wajib.
Namun, Indonesia tidak meratifikasi protokol opsional mengenai penyelesaian sengketa secara wajib dari konvensi tersebut.
Baca juga: Perwakilan Diplomatik Indonesia: Fungsi dan Tugasnya
Aturan mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah berkembang sejak abad ke-18. Aturan-aturan ini berkembang secara terperinci menurut variasi masing yang dilakukan oleh beberapa negara.
Dalam perkembangan selanjutnya, kekebalan dan keistimewaan diplomatik sebagai asas hukum internasional dikukuhkan dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler, dan Konvensi New York 1969 tentang Misi Khusus.
Indonesia dapat menerima seluruh isi Konvensi Wina 1961 maupun Konvensi Wina 1963 beserta Protokol Opsionalnya mengenai hal memperoleh Kewarganegaraan, kecuali protokol opsional mengenai penyelesaian sengketa secara wajib.
Hal ini dikarenakan pemerintah Indonesia lebih mengutamakan penyelesaian sengketa dengan cara perundingan dan konsultasi atau musyawarah antara negara yang bersengketa.
Untuk mewujudkan landasan hukum yang lebih kuat dalam hubungan internasional, pemerintah pun mengesahkan dua konvensi tersebut dengan undang-undang.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi dua konvensi tersebut dengan UU Nomor 1 Tahun 1982 yang ditetapkan pada 25 Januari 1982.
Referensi: