JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi salah satu alasan aksi unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan oleh aliansi mahasiswa dan masyarakat sipil di berbagai daerah pada Senin (23/9/2019) dan Selasa (24/9/2019) berujung ricuh dengan aparat keamanan.
Aspirasi utama dari unjuk rasa itu adalah menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang dinilai bermasalah.
Demonstrasi itu digelar di berbagai kota, yakni Jakarta, Bandung, Sumatera Selatan, hingga Sulawesi Selatan.
Di Jakarta, mahasiswa dari berbagai universitas lebih dulu melakukan aksi di depang gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 19 September 2019.
Baca juga: BEM UI Demo di Patung Kuda Protes RKUHP, Ini Pasal yang Disorot
Mereka menyampaikan misi tidak percaya kepada anggota dewan yang dinilai mengabaikan aspirasi masyarakat terkait sejumlah produk undang-undang yang disahkan.
Saat itu para mahasiswa menolak RKUHP yang sejumlah pasalnya dinilai bermasalah. Mereka juga RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertambangan Minerba, dan RUU Sumber Daya Air.
Salah satu penyebabnya adalah pembahasan RKUHP dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang mewakili pemerintah dan Komisi III DPR pada 15 September 2019.
Pembahasan RKUHP itu dilakukan pada 14-15 September 2019 di Hotel Fairmont, Jakarta.
Menurut pernyataan Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang merupakan koalisi 40 lembaga swadaya masyarakat, pembahasan RKHUP itu dilakukan secara tidak terbuka dan sejumlah pasalnya dinilai bermasalah.
Salah satu anggota Panitia Kerja RKUHP yang juga politikus Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, membantah tuduhan pembahasan RKUHP dilakukan secara diam-diam.
Baca juga: Rayakan Ulang Tahun Jokowi, BEM UI Gelar Demo di Patung Kuda, Protes RKUHP
Sejumlah pasal RKUHP yang diprotes itu pertama pasal soal korupsi yang memuat hukuman yang lebih rendah daripada UU Tipikor.
Kemudian pasal tentang penghinaan presiden dan wakil presiden yang mengancam pelaku dengan penjara maksimal 3,5 tahun.
Lalu pasal tentang makar yang bisa diancam hukuman mati, seumur hidup atau bui 20 tahun.
Kemudian pasal soal penghinaan bendera, pasal soal alat kontrasepsi, pasal aborsi, pasal pemidanaan gelandangan, dan pasal tentang Zina dan Kohabitasi (kumpul kebo).
Selain itu ada juga pasal soal pencabulan, pasal pembiaran unggas dan hewan ternak yang memasuki pekarangan, pasal tentang tindak pidana Narkoba, pasal tentang penghinaan terhadap badan peradilan atau contempt of court.
Baca juga: Masyarakat Diminta Tetap Desak Pemerintah Buka Draf Terbaru RKUHP
Kemudian pasal tindak pidana penghinaan agama dan pasal terkait pelanggaran HAM berat.
Aksi itu tidak mendapat tanggapan dari dari DPR. Alhasil pada 23 September 2019, para mahasiswa kembali menggelar aksi unjuk rasa yang lebih besar.
Demo itu berlangsung Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, Medan, Palembang, Makassar. Saat itu mahasiswa mengajukan 7 tuntutan, yakni:
Yang disayangkan adalah aksi unjuk rasa itu berakhir dengan bentrokan antara massa dengan aparat kepolisian.
Menurut laporan terdapat 232 korban luka dalam bentrokan itu. Mereka terdiri dari mahasiswa, masyarakat sipil, aparat keamanan, hingga wartawan.
Selepas aksi demonstrasi itu, politikus Partai Golkar yang saat itu masih menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo menyatakan pemerintah menunda seluruh RUU yang ditolak mahasiswa dan masyarakat.
Baca juga: Kemenkumham: Draf RKUHP Masih Taraf Penyusunan dan Penyempurnaan
"Semua Rancangan Undang-Undang sudah kami tunda, jadi tidak ada lagi yang harus disampaikan aspirasinya," ujar Bambang di RS Pelni Petamburan Jakarta Barat, Rabu (25/9/2019).
Presiden Joko Widodo menyampaikan apresiasi terhadap aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa di berbagai daerah untuk menolak revisi UU KPK dan KUHP.
"Saya menyampaikan penghargaan saya, apresiasi saya terhadap demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa yang ini saya kira sebuah bentuk demokrasi yang ada di negara kita," kata Jokowi usai menerima sejumlah tokoh di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Jokowi memastikan masukan yang disampaikan mahasiswa sudah ia tampung. Misalnya terkait revisi KUHP, Jokowi sudah meminta DPR menunda pengesahannya untuk menampung kembali masukan dari masyarakat.
Soal revisi UU KPK yang sudah terlanjur disahkan menjadi UU, Jokowi mempertimbangkan untuk mencabutnya dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
Baca juga: DPR dan Pemerintah Diminta Buka Partisipasi Publik, Jangan Buru-Buru Sahkan RKUHP
"Masukan-masukan yang disampaikan menjadi catatan untuk memperbaiki yang kurang di negara kita," kata Jokowi.
Akan tetapi Jokowi sampai saat ini tak menerbitkan Perppu buat mencabut UU KPK hasil revisi.
Mahkamah Konstitusi (MK) juga menolak seluruh gugatan uji formil atau proses pembentukan UU KPK.
Kendati demikian, Jokowi juga mengingatkan mahasiswa agar dalam menjalankan aspirasinya tidak melakukan aksi anarkistis yang mengganggu ketertiban umum.
"Yang paling penting jangan sampai demo merusak fasilitas umum, anarkis dan merugikan kita semua, saya rasa itu," kata dia.
(Penulis : Ihsanuddin | Editor : Krisiandi)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.