Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr M Subhan SD
Direktur PolEtik Strategic

Direktur PolEtik Strategic | Founder Mataangindonesia Social Initiative | msubhansd.com | mataanginsaguling.com

Ganjar Menjadi "Ronin"?

Kompas.com - 16/06/2022, 08:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GANJAR Pranowo bikin kikuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Ganjar bisa jadi batu sandungan, bukan batu loncatan. Gara-gara Ganjar, PDI-P justru diganjar gempar. PDIP seharusnya sudah bisa tidur nyenyak menyongsong Pemilu Presiden (Pilpres) 2024. Sebab, PDI-P satu-satunya partai yang sudah siap berlaga di ajang perhelatan demokrasi tersebut. Pertama, sudah mengantungi tiket Pilpres karena lolos presidential threshold. Kedua, sudah punya kandidat yang memiliki elektabilitas tinggi.

Bandingkan dengan partai-partai lain. Mereka masih harus berjibaku dan bergerilya ke sana-kemari siang-malam untuk mencari selembar tiket pilpres. Mulai gencar komunikasi, lobi, silaturahmi, antar pimpinan partai untuk membangun koalisi. Partai-partai lain juga umumnya masih bingung mencari stok kandidat yang akan diusung di tahun 2024. Rupanya punya tiket pilpres dan punya stok kandidat pun tak jadi jaminan. PDI-P tampaknya tengah dilanda kegamangan.

Baca juga: Survei Charta Politika: Ganjar Kuasai Lumbung Suara Jokowi, Anies Kikis Basis Prabowo

Ini gara-gara Ganjar. Nama Ganjar yang kini Gubernur Jawa Tengah memang paling moncer. Pasca Presiden Joko Widodo, Ganjar menjadi figur yang dilirik publik untuk kandidat presiden bersaing dengan Prabowo Subianto (Ketua Umum Partai Gerindra) dan Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta).

Survei SMRC (10-17 Mei 2022), misalnya, dengan simulasi tiga top of mind itu, Ganjar tertinggi yaitu 30,3 persen, disusul Prabowo 27,3 persen, lalu Anies 22,6 persen. Dengan simulasi sama, survei Charta Politika (25 Mei-2 Juni 2022) memperlihatkan elektabilitas Ganjar 36,5 persen, Prabowo 26,7 persen, dan Anies 24,9 persen.

Ganjar vs Puan

Dilihat dari perspektif berbeda, popularitas dan elektabilitas Ganjar seakan-akan todongan terhadap PDI-P. Pasalnya, menyangkut figur yang akan diusung pada Pilpres 2024 adalah kewenangan partai.

Ketua Umum Megawati Sukarnoputri pun belum bertitah. Maka, dorongan terhadap Ganjar bisa diartikan semacam fait accompli. PDI-P terkenal sikapnya yang teguh, ogah disetir pihak luar, terbukti sejak zaman Orde Baru. Namun, yang menjadi problem tampaknya PDI-P tengah menyiapkan jalan untuk Puan Maharani, sang puteri mahkota.

Ditinjau dari teori klasik partai politik dalam sistem demokratis, PDI-P terbilang partai yang berhasil menjalankan fungsi sarana rekruitmen politik. PDI-P mampu membentuk dan menyeleksi calon-calon pemimpin. Dengan stok calon-calon pemimpin, PDIP dapat dengan mudah menyuplai kader untuk posisi-posisi jabatan publik. Jadi tak perlu repot seperti dialami banyak partai lain.

Ketua DPP PDI-P Puan Maharani bersama ibunya, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto.Dokumentasi Puan Maharani Ketua DPP PDI-P Puan Maharani bersama ibunya, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto.
Namun, di sisi lain menimbulkan problem ketika kompetisi dan kontestasi meruncing menjadi rivalitas tajam. Ganjar adalah "banteng" yang menjadi gubernur di "kandang banteng", selama dua periode sejak 2013.

Adapun Puan, yang kini Ketua DPR, adalah putri mahkota. Mantan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan itu adalah anak biologis Megawati atau cucu biologis-ideologis Soekarno. Artinya Puan itu berdarah biru, trah Soekarno. Selama ini Puan-lah yang disiapkan sebagai penerus Megawati. Dari sisi nasab atau genealogi, posisi Puan tak ada lawan.

Elektabilitas dan peluang di 2024

Lalu bagaimana dengan peluang Puan di ajang Pilpres 2024? Mari kita lihat hasil survei. Dalam survei yang sama oleh Charta Politika, dengan menggunakan simulasi 10 nama, elektabilitas Puan hanya 1,8 persen. Posisinya di bawah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir (2 persen) dan di atas Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto (1,2 persen). Bandingkan dengan Ganjar yang memiliki elektabilitas 31,2 persen. Namun Puan santai saja menanggapinya, “Yang penting saya kerja saja.”

Baca juga: Pemilih Nasdem Terbelah, Peminat Ganjar Versus Anies Seimbang

Dari persentase tersebut, jelas diperlukan kerja super ekstra dan akselerasi marketing yang jitu untuk menaikkan elektabilitas Puan. Persoalannya apakah cukup waktu mengejar panggung Pilpres 2024? Partai sebagai mesin politik akan diforsir seperti apa untuk dapat mencapai target tersebut dalam dua tahun ini. Ini kerja berat dengan skala nasional yang lebih kompleks dan luas, bukan setingkat walikota, misalnya.

Faktor lain yang penting diperhatikan adalah elektabilitas Puan di kalangan massa pemilih PDI-P. Kita kutip lagi survei Charta Politika. Hasilnya hanya 6,2 persen pemilih PDI-P yang akan memberikan suaranya untuk Puan. Masih kalah dengan raihan Prabowo yang 9,7 persen.

Untuk Ganjar, sebanyak 68,5 persen pemilih PDI-P akan memilih Ganjar. Walau hasil survei sering dipandang sinis dan apriori tapi sejauh ini survei merupakan cara ilmiah dan secara empiris terbukti.

Tak ayal faktor Ganjar dan Puan memusingkan PDI-P. Bisa mendera, menyandera, bahkan membelah PDI-P. Beberapa kali Ganjar diabaikan. Misal, tak diundang di acara Hari Ulang Tahun (HUT) PDI-P di Jawa Tengah. Ganjar disindir hingga dikritik pedas oleh elite partai, termasuk dinilai ambisius dan kemlinthi mau nyapres. Bahkan sindiran Puan mengenai sosok ganteng tapi tak bisa apa-apa kecuali eksis di medsos, disinyalir dialamatkan ke Ganjar.

Apalagi setelah Jokowi dianggap memberi kode dukungan ke Ganjar, internal PDI-P kian bergejolak. Akhirnya Puan vis a vis Ganjar, berdiri dalam posisi diametral. Apabila Puan menjadi penerus Megawati, maka Ganjar dianggap penerus Jokowi.

Padahal cara berpikirnya dapat dicari jalan tengah bahwa Jokowi merupakan tongkat estafet dari Megawati. Jadi, sebetulnya ada mata rantainya dalam lingkaran PDI-P. Di sini PDI-P diuji, apakah mampu menjalankan fungsi partai sebagai sarana pengatur konflik (conflict management) atau malah sebaliknya.

Berandai-andai

Masalahnya, sebagai putri mahkota, Puan sudah lama digembleng dan dipersiapkan. Momentum Puan juga dianggap tepat mengingat faktor-faktor: kuatnya dan solidnya PDIP, kharisma Megawati, efek ekor jas (coattail effect) Jokowi, dan tentu posisi Puan yang berada di puncak jabatan publik. Menunggu lima tahun lagi, mungkin situasi sudah berbeda. Peluang belum tentu datang dua kali. Namun, semua modal politik itu akhirnya harus berhadapan dengan tingkat elektabilitas Puan.

Mari berandai-andai. Andai Ganjar benar-benar diberi tiket pilpres, urusan pun selesai. Tinggal PDI-P, sebagai mesin politik, punya waktu lima tahun untuk melipatgandakan modal politik Puan. Targetnya pada 2029, Puan betul-betul siap.

Saat itu umur Puan pun baru memasuki 56 tahun. Usia yang benar-benar matang untuk memasuki bursa capres. Hanya terpaut 3 tahun lebih tua dibanding Jokowi saat nyapres pada 2014. Tentu saja ini cerita di atas kertas. Sebab, harus memperhitungkan dinamika dalam lima tahun ke depan yang unpredictable serta manuver partai-partai lain yang juga mengelus-elus jagonya.

Baca juga: Tantangan Puan Maharani Menuju Capres 2024

Lalu, andai Puan keukeuh dicalonkan, tampaknya ada opsi lain. Mengingat posisi elektabilitasnya rendah, bisa saja Puan dipasangkan sebagai calon wapres. Tampaknya tidak mustahil melihat komunikasi dengan Partai Gerindra. Prabowo sudah tak asing lagi dengan PDI-P. Hubungan Megawati dan Prabowo begitu khusus. Prabowo pernah mendampingi Megawati pada Pemilu 2009. Pada Idul Fitri yang baru berlalu, Prabowo sudah bersilaturahmi ke kediaman Megawati. Jadi, kalau Puan mendampingi Prabowo mungkin rasional juga.

Tetapi apakah PDI-P mau menyerahkan posisi presiden untuk Prabowo, padahal PDI-P yang punya tiketnya. Tentu pilihan menyakitkan. Tetapi di politik itu tidak boleh gunakan emosi apalagi sampai baperan (bawa perasaan). Politik itu lumbungnya pikiran taktis. Lagi pula sudah ada preseden. Pada Pemilu 1999, ketika demokrasi masih diwakilkan di Senayan, sebagai pemenang pemilu PDI-P pun menerima kursi wapres (wakil presiden), setelah kalah menghadapi manuver koalisi lain. Megawati baru menjadi presiden setelah Presiden Abdurahman Wahid dilengserkan.

Andai sekarang opsi itu terpaksa diambil PDI-P, maka menjadi pemanasan buat Puan menyongsong kursi presiden di pemilu berikutnya (2029). Saat itu Prabowo pun sudah berusia 78 tahun. Dalam sepuluh tahun ini, kita sudah menyegarkan kepemimpinan nasional. Maksudnya saat ini usia presiden sudah tergolong muda, masih segar, tidak lagi tua. Kita tak ingin lagi terjadi praktik gerontokrasi ketika orang-orang tua memegang kendali pemerintahan. Namun dengan syarat apabila pasangan tersebut menang pilpres.

Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo saling bergandengan di acara pelantikan Dewan pengarah BPIP di Istana, Selasa (7/6/2022).Dokumentasi PDI-P Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo saling bergandengan di acara pelantikan Dewan pengarah BPIP di Istana, Selasa (7/6/2022).
Otoritas Megawati

Mengenai pasangan calon memang menarik. Sejumlah lembaga survei pun bikin simulasi perkawinan pasangan. Contohnya, Poltracking menyusun tiga simulasi (16-22 Mei 2022). Pertama, Ganjar-Erick (27,6 persen), Prabowo-Puan (20,7 persen), dan Anies-Agus Harimurti Yudhoyono (17,9 persen). Kedua, Ganjar-Sandiaga Uno (26,7 persen), Prabowo-Erick (22,5 persen), dan Anies-Puan (12,2 persen). Simulasi ketiga, Ganjar-Erick (26,4 persen), Prabowo-Puan (19,8 persen), dan Anies-Sandiaga (18,9 persen).

Angka-angka itu sekadar gambaran saja. Memang tidak sedikit yang memandang sinis pada hasil survei, terutama bila elektabilitasnya rendah. Tidak seharusnya survei dilihat sebagai sesuatu yang final. Bukan juga dicurigai sebagai bandwagon effect, efek ikutan bahwa hasil survei untuk mempengaruhi. Perlakukan saja survei (asumsinya kredibel) untuk membaca prediksi, melihat peta dukungan, dan membaca tren di lapangan.

Terlepas dari kemelut internal partai dan hasil survei, tentu saja keputusan pengusungan calon PDI-P merupakan otoritas Megawati. Selain berpegang pada hasil survei, kalkulasi politik, dan juga insting akan menjadi pertimbangan. Memutuskan “putri mahkota” atau “petugas partai”, tentu harus siap dengan segala risikonya. Dengan pengalamannya yang luas, insting politik Megawati tak sedikit terbukti tepat, karena memadukan aspek rasionalitas. Salah satunya saat memberi tiket pilpres kepada Jokowi tahun 2014.

Seperti Jokowi, Ganjar bukan “darah biru”. Ganjar adalah “petugas partai”, seperti halnya Jokowi. Seperti Jokowi juga, Ganjar memiliki elektabilitas tertinggi dalam survei-survei. Dalam berbagai kasus, Ganjar memperlihatnya dirinya adalah banteng sejati.

Saat digoda kemungkinan diusung koalisi lain, Ganjar bilang, “Aku PDI Perjuangan!” Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto pun secara retoris mengingatkan partai lain agar tidak melakukan pembajakan. Jadi mungkinkah Megawati mengulangi peristiwa 2014?

Ronin dan Musashi, Sungkowo dan Pranowo

Atau sebaliknya Ganjar akan “terbuang”. Apakah Ganjar bakal menjadi ronin, karena tidak punya tuan pelindungnya. Dalam tradisi Jepang zaman feodal abad ke-12 hingga ke-19, ronin adalah prajurit samurai yang kehilangan tuannya (daimyo) atau kehilangan hak istimewanya. Karena tidak ada patron, samurai-samurai itu pun berkelana menjadi pengembara. Ada yang liar dan menggelandang, tetapi ada yang menjadi petarung hebat.

Ronin paling masyhur adalah Musashi (1584-1645), yang novelnya ditulis Eiji Yoshikawa. Dalam pengembaraannya, sebagai orang bebas, Musashi justru sangat legendaris karena mampu menaklukkan lawan-lawannya. Akankah Ganjar menjadi ronin yang tanpa tuan, jika benar-benar putri mahkota yang akan diputuskan?

Saya sih kurang yakin. Apalagi di seberang sana tak sedikit tuan-tuan (baca: koalisi partai lain) saling mengamati gerak-gerik kompetitornya. Ibarat pepatah PDI-P pun bisa keliru melepaskan punai di tangan demi mengejar sesuatu yang belum pasti. Maka, di sinilah pentingnya bersiasat. Politik tak cukup adu kuat dan adu cepat saja. “Mencegah kekalahan tergantung pada diri kita, sedangkan peluang untuk menang dikondisikan pula oleh musuh,” kata jenderal ahli strategi perang asal China, Sun Tzu.

Kalau hitungan mistik, Ganjar kemungkinan terhindar dari kesulitan, setelah nama kecilnya Sungkowo (arti: belasungkawa, dikaitkan dengan kesusahan) diganti Pranowo oleh orangtuanya. Pra berarti sebelum, sedangkan Nowo berarti sembilan. “Sebelum sembilan” mungkin maksudnya bisa “delapan”. Jokowi adalah presiden RI yang ketujuh. Dan, Pilpres 2024 nanti mencari Presiden RI yang kedelapan. Nah loh!

Tenang! Itu cuma ilmu “cocoklogi” berbau mistik saja. Sedangkan politik itu rasional. Kalau rasional bertemu mistik, mungkin koinsiden saja. Di Indonesia, dengan alam pikiran tradisi agraris, memang terkadang mistik suka bercampur dengan pikiran rasional. Istilahnya klenik politik. Ah, daripada mikirin klenik, mending kita tunggu saja titah Megawati, apakah Ganjar diganjar menjadi putra mahkota atau malah terbuang menjadi ronin seperti Musashi?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com