Pangan berbahan baku gandum, kedelai, minyak kedelai, terigu, daging, dan lainnya akan mengalami kelangkaan suplai, lalu mengerek harga secara drastis, yang akan merongrong daya beli masyarakat.
Lebih dari itu, kelangkaan komoditas jenis sayuran yang kebanyakan juga diimpor seperti bawang, misalnya, juga akan menambah keresahan konsumen Indonesia, setelah kasus minyak goreng yang tak jelas justrungannya beberapa waktu lalu.
Keputusan 22 negara tersebut tidak saja mengganggu jalur distribusi dan logistik, tapi justru mengeringkan suplai untuk pasar global.
Contohnya, jika ekspor produk bahan pokok dari Argentina yang menghasilkan kedelai dan dari Brasil yang menghasilkan pakan ternak dunia dihentikan, maka otomatis akan mengurangi pasokan kedelai dan pakan ternak di pasar internasional.
Untuk Indonesia, imbasnya akan mengganggu bahan baku tempe dan tahu di satu sisi (ancaman kenaikan harga tempe dan tahu) serta mengganggu rantai makanan perternakan di sisi lain (ancaman kenaikan harga daging ternak).
Jadi dalam konteks domestik, selain melindungi pasokan dalam negeri, penting pula digalakkan segera kerja sama lintas negara untuk mengamankan pasokan pangan.
Diharapkan bahwa tiap negara tidak memutuskan pembatasan ekspor perdagangan secara membabi buta.
Perlu dibangun kesepahaman bahwa pembatasan perdagangan (ekspor bahan pangan) secara total bisa merugikan produsen di negara asal dan konsumen di negara tujuan, yang berpeluang membuat panik pasar global, lalu memicu terjadinya perang dagang.
Logikanya, jika satu negara mulai melakukan pembatasan ekspor bahan pangan, negara lain berpeluang mengikutinya dengan membatasi ekspor untuk komoditas lain yang biasa diimpor oleh negara tersebut.
Jika hal itu terjadi, tentu akan menjadi malapetaka bagi pasar dunia, terutama malapetaka untuk pasar makanan pokok.
Untuk itu, Indonesia perlu melakukan diplomasi ekonomi secara aktif ke negara-negara asal barang impor nasional yang ikut menghentikan ekspornya, baik unilateral maupun multilateral, untuk mencairkan suasana agar negara-negara eksportir bahan makanan tidak sepenuhnya menutup kran ekspor, tapi disesuaikan dengan kebutuhan domestik mereka, lalu sisanya bisa tetap dieskspor.
Hal itu sangat perlu dilakukan mengingat Indonesia masih tergolong negara dengan masalah kelaparan serius, yang membutuhkan kepastian suplai bahan pangan, baik dari pasar domestik maupun global.
Menurut data Global Hunger Index 2019, Indonesia berada di peringkat 70 dari 117 negara dengan nilai 20,1 dan masuk kategori serius.
Raihan nilai tersebut mengalami penurunan dari tahun 2010 (24,9) dan 2005 (26,8). Parahnya lagi, posisi Indonesia makin memburuk tahun 2021 karena makin terpuruk ke posisi 73 dari 117 negara.
Skornya makin tergerus menjadi 18. Artinya, Indonesia sangat membutuhkan kepastian pasokan bahan pangan, agar ancaman kelaparan bisa diminimalisasi.