Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Waspadai Ancaman Krisis Pangan

Kompas.com - 14/06/2022, 10:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELUM lama ini, Presiden Joko Widodo mengingatkan ancaman krisis pangan nasional karena 22 negara telah memutuskan untuk menghentikan aktivitas ekspor pangannya untuk menjaga suplai domestik.

Negara-negara yang telah melarang ekspor makanan mulai dari gandum, biji-bijian, minyak, buah-buahan hingga daging beberapa bulan pascaterjadinya konflik Rusia dan Ukraina tersebut di antaranya Argentina, Mesir, India, Aljazair, Iran, Kazakhstan, Kosovo, Turki, Ukraina, Rusia, Serbia, Tunisia, Kuwait, Malaysia dan Indonesia.

Ketidakpastian ekonomi global, terutama akibat perang Ukraina dan Rusia, memang menjadi salah satu sebab inflasi tinggi di berbagai negara.

Gangguan rantai pasok akibat aksi saling balas sanksi antara Dunia Barat dan Rusia membuat distribusi beberapa komoditas utama dunia menjadi terganggu, yang berakibat kelangkaan di satu sisi dan kenaikan tajam harga komoditas di sisi lain.

Kondisinya tentu akan semakin parah jika 22 negara malah memutuskan untuk menghentikan ekspor bahan pangan ke pasar global.

Ancaman krisis pangan ini bukan yang pertama kali dalam tiga tahun belakangan. Di awal masa pandemik, Food and Agriculture Organization/FAO atau Badan Pangan dan Pertanian PBB juga pernah memperingatkan mengenai potensi terjadinya krisis pangan sebagai dampak dari pandemi corona.

Pasalnya, banyak negara menerapkan kebijakan lockdown atau karantina wilayah, termasuk pembatasan sosial berskala besar seperti yang diterapkan di Indonesia.

Karenanya, ketika itu FAO meminta setiap negara yang sedang berjuang mengatasi penyebaran virus corona juga menjaga kelancaran rantai pasokan makanan agar tidak terjadi kelangkaan bahan pokok makanan dan kenaikan harga yang berlebihan.

Secara teknis, rantai pasokan makanan melibatkan interaksi yang kompleks, seperti di sektor pertanian yang melibatkan petani, benih, pupuk, anti-hama, pabrik pengolahan, pengiriman, pengecer dan lainnya, mulai dari level domestik sampai ke pasar dunia.

Jaringan yang kompleks juga terdapat pada sektor peternakan dan perikanan. Nah, akibat perang sanksi ekonomi antara kubu yang berseteru (Rusia Vs Barat), rantai pasokan tersebut mulai mengalami kendala yang sudah mulai terlihat sejak bulan Mei 2022 lalu dengan tingginya inflasi di negara-negara importir komoditas.

Sementara Indonesia mulai tertekan ketika harga minyak dunia mulai merangsek ke atas 100 dollar AS per barel dua bulan lalu, yang membuat Pertamina mengusulkan kenaikan BBM lebih dari 20 persen (Pertamax).

Kenaikan harga minyak dunia juga berpengaruh terhadap biaya transportasi global, yang berimbas pada harga barang impor Indonesia, terutama barang baku.

Risikonya, harga jual beberapa jenis barang terkerek naik, yang ikut berkontribusi pada tingginya inflasi inti bulan Mei 2022 lalu.

Kemudian, dalam konteks makanan, rantai pasok terkait dengan dua kategori rantai pasok, yakni rantai pasok komoditas pokok seperti beras, gandum, jagung, kedelai dan rantai pasok komoditas bernilai tinggi seperti buah dan sayur-sayuran.

Nah, komoditas bahan pokok yang bergantung pada impor inilah yang akan langsung terkena imbas dari kebijakan pembatasan ekpor komoditas pangan dari sebelas negara yang disebutkan Jokowi.

Pangan berbahan baku gandum, kedelai, minyak kedelai, terigu, daging, dan lainnya akan mengalami kelangkaan suplai, lalu mengerek harga secara drastis, yang akan merongrong daya beli masyarakat.

Lebih dari itu, kelangkaan komoditas jenis sayuran yang kebanyakan juga diimpor seperti bawang, misalnya, juga akan menambah keresahan konsumen Indonesia, setelah kasus minyak goreng yang tak jelas justrungannya beberapa waktu lalu.

Keputusan 22 negara tersebut tidak saja mengganggu jalur distribusi dan logistik, tapi justru mengeringkan suplai untuk pasar global.

Contohnya, jika ekspor produk bahan pokok dari Argentina yang menghasilkan kedelai dan dari Brasil yang menghasilkan pakan ternak dunia dihentikan, maka otomatis akan mengurangi pasokan kedelai dan pakan ternak di pasar internasional.

Presiden Jokowi meninjau petani yang tengah melakukan penanaman bawang merah di lokasi food estate di Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Selasa (14/12/2021). Food estate merupakan program strategis pembangunan pertanian nasional tahun 2021 sebagai upaya menaikkan cadangan pangan nasional sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.SETPRES/AGUS SUPARTO Presiden Jokowi meninjau petani yang tengah melakukan penanaman bawang merah di lokasi food estate di Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Selasa (14/12/2021). Food estate merupakan program strategis pembangunan pertanian nasional tahun 2021 sebagai upaya menaikkan cadangan pangan nasional sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
Untuk Indonesia, imbasnya akan mengganggu bahan baku tempe dan tahu di satu sisi (ancaman kenaikan harga tempe dan tahu) serta mengganggu rantai makanan perternakan di sisi lain (ancaman kenaikan harga daging ternak).

Jadi dalam konteks domestik, selain melindungi pasokan dalam negeri, penting pula digalakkan segera kerja sama lintas negara untuk mengamankan pasokan pangan.

Diharapkan bahwa tiap negara tidak memutuskan pembatasan ekspor perdagangan secara membabi buta.

Perlu dibangun kesepahaman bahwa pembatasan perdagangan (ekspor bahan pangan) secara total bisa merugikan produsen di negara asal dan konsumen di negara tujuan, yang berpeluang membuat panik pasar global, lalu memicu terjadinya perang dagang.

Logikanya, jika satu negara mulai melakukan pembatasan ekspor bahan pangan, negara lain berpeluang mengikutinya dengan membatasi ekspor untuk komoditas lain yang biasa diimpor oleh negara tersebut.

Jika hal itu terjadi, tentu akan menjadi malapetaka bagi pasar dunia, terutama malapetaka untuk pasar makanan pokok.

Untuk itu, Indonesia perlu melakukan diplomasi ekonomi secara aktif ke negara-negara asal barang impor nasional yang ikut menghentikan ekspornya, baik unilateral maupun multilateral, untuk mencairkan suasana agar negara-negara eksportir bahan makanan tidak sepenuhnya menutup kran ekspor, tapi disesuaikan dengan kebutuhan domestik mereka, lalu sisanya bisa tetap dieskspor.

Hal itu sangat perlu dilakukan mengingat Indonesia masih tergolong negara dengan masalah kelaparan serius, yang membutuhkan kepastian suplai bahan pangan, baik dari pasar domestik maupun global.

Menurut data Global Hunger Index 2019, Indonesia berada di peringkat 70 dari 117 negara dengan nilai 20,1 dan masuk kategori serius.

Raihan nilai tersebut mengalami penurunan dari tahun 2010 (24,9) dan 2005 (26,8). Parahnya lagi, posisi Indonesia makin memburuk tahun 2021 karena makin terpuruk ke posisi 73 dari 117 negara.

Skornya makin tergerus menjadi 18. Artinya, Indonesia sangat membutuhkan kepastian pasokan bahan pangan, agar ancaman kelaparan bisa diminimalisasi.

Selain itu, Indonesia juga masih mengimpor beberapa jenis makanan pokok dari luar negeri, termasuk beras dan jagung.

Berdasar data Biro Pusat Statistik(BPS) pada 2018 misalnya, Indonesia paling banyak mengimpor jagung dari Argentina, yakni sebanyak 238,06 ribu ton atau senilai 51,56 juta dollar AS.

Bahkan dari penjelasan Jokowi belum lama ini, impor jagung Indonesia tembus 800.000 ton. Tentu akan sangat berbahaya bagi Indonesia jika salah satu negara asal impor jagung nasional itu menutup pintu ekspornya.

Suplai pakan ternak akan kering, harga daging terkerek naik dan akan membebani puluhan juta rumah tangga.

Pendeknya, pemerintah harus mengantisipasi agar tidak terjadi kelangkaan komoditas bahan makanan dan sayuran di level domestik, baik dengan diplomasi ekonomi, atau dengan penguatan kapasitas produksi komoditas bahan pokok nasional, dan atau dengan pembenahan tata kelola rantai pasok bahan pokok nasional.

Karena bagaimanapun, stabilitas pasokan dan harga barang-barang pokok berkategori makanan (pangan) sangat krusial sifatnya.

Selain berkontribusi besar pada tingkat inflasi, juga memiliki efek luar biasa pada sistem ekonomi dan politik nasional jika gagal dikelola dengan baik.

Apalagi saat ini masih ada ancaman baru Covid 19. Jika angkanya kembali naik, protokol kesehatan tentu akan ditingkatkan lagi dan akan mempersulit kapasitas produksi bahan pangan dan memperlambat pergerakan pasokan.

Pemerintah tentu harus siap dengan kondisi terpahit seperti itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com