BELUM lama ini, Presiden Joko Widodo mengingatkan ancaman krisis pangan nasional karena 22 negara telah memutuskan untuk menghentikan aktivitas ekspor pangannya untuk menjaga suplai domestik.
Negara-negara yang telah melarang ekspor makanan mulai dari gandum, biji-bijian, minyak, buah-buahan hingga daging beberapa bulan pascaterjadinya konflik Rusia dan Ukraina tersebut di antaranya Argentina, Mesir, India, Aljazair, Iran, Kazakhstan, Kosovo, Turki, Ukraina, Rusia, Serbia, Tunisia, Kuwait, Malaysia dan Indonesia.
Ketidakpastian ekonomi global, terutama akibat perang Ukraina dan Rusia, memang menjadi salah satu sebab inflasi tinggi di berbagai negara.
Gangguan rantai pasok akibat aksi saling balas sanksi antara Dunia Barat dan Rusia membuat distribusi beberapa komoditas utama dunia menjadi terganggu, yang berakibat kelangkaan di satu sisi dan kenaikan tajam harga komoditas di sisi lain.
Kondisinya tentu akan semakin parah jika 22 negara malah memutuskan untuk menghentikan ekspor bahan pangan ke pasar global.
Ancaman krisis pangan ini bukan yang pertama kali dalam tiga tahun belakangan. Di awal masa pandemik, Food and Agriculture Organization/FAO atau Badan Pangan dan Pertanian PBB juga pernah memperingatkan mengenai potensi terjadinya krisis pangan sebagai dampak dari pandemi corona.
Pasalnya, banyak negara menerapkan kebijakan lockdown atau karantina wilayah, termasuk pembatasan sosial berskala besar seperti yang diterapkan di Indonesia.
Karenanya, ketika itu FAO meminta setiap negara yang sedang berjuang mengatasi penyebaran virus corona juga menjaga kelancaran rantai pasokan makanan agar tidak terjadi kelangkaan bahan pokok makanan dan kenaikan harga yang berlebihan.
Secara teknis, rantai pasokan makanan melibatkan interaksi yang kompleks, seperti di sektor pertanian yang melibatkan petani, benih, pupuk, anti-hama, pabrik pengolahan, pengiriman, pengecer dan lainnya, mulai dari level domestik sampai ke pasar dunia.
Jaringan yang kompleks juga terdapat pada sektor peternakan dan perikanan. Nah, akibat perang sanksi ekonomi antara kubu yang berseteru (Rusia Vs Barat), rantai pasokan tersebut mulai mengalami kendala yang sudah mulai terlihat sejak bulan Mei 2022 lalu dengan tingginya inflasi di negara-negara importir komoditas.
Sementara Indonesia mulai tertekan ketika harga minyak dunia mulai merangsek ke atas 100 dollar AS per barel dua bulan lalu, yang membuat Pertamina mengusulkan kenaikan BBM lebih dari 20 persen (Pertamax).
Kenaikan harga minyak dunia juga berpengaruh terhadap biaya transportasi global, yang berimbas pada harga barang impor Indonesia, terutama barang baku.
Risikonya, harga jual beberapa jenis barang terkerek naik, yang ikut berkontribusi pada tingginya inflasi inti bulan Mei 2022 lalu.
Kemudian, dalam konteks makanan, rantai pasok terkait dengan dua kategori rantai pasok, yakni rantai pasok komoditas pokok seperti beras, gandum, jagung, kedelai dan rantai pasok komoditas bernilai tinggi seperti buah dan sayur-sayuran.
Nah, komoditas bahan pokok yang bergantung pada impor inilah yang akan langsung terkena imbas dari kebijakan pembatasan ekpor komoditas pangan dari sebelas negara yang disebutkan Jokowi.
Pangan berbahan baku gandum, kedelai, minyak kedelai, terigu, daging, dan lainnya akan mengalami kelangkaan suplai, lalu mengerek harga secara drastis, yang akan merongrong daya beli masyarakat.
Lebih dari itu, kelangkaan komoditas jenis sayuran yang kebanyakan juga diimpor seperti bawang, misalnya, juga akan menambah keresahan konsumen Indonesia, setelah kasus minyak goreng yang tak jelas justrungannya beberapa waktu lalu.
Keputusan 22 negara tersebut tidak saja mengganggu jalur distribusi dan logistik, tapi justru mengeringkan suplai untuk pasar global.
Contohnya, jika ekspor produk bahan pokok dari Argentina yang menghasilkan kedelai dan dari Brasil yang menghasilkan pakan ternak dunia dihentikan, maka otomatis akan mengurangi pasokan kedelai dan pakan ternak di pasar internasional.
Jadi dalam konteks domestik, selain melindungi pasokan dalam negeri, penting pula digalakkan segera kerja sama lintas negara untuk mengamankan pasokan pangan.
Diharapkan bahwa tiap negara tidak memutuskan pembatasan ekspor perdagangan secara membabi buta.
Perlu dibangun kesepahaman bahwa pembatasan perdagangan (ekspor bahan pangan) secara total bisa merugikan produsen di negara asal dan konsumen di negara tujuan, yang berpeluang membuat panik pasar global, lalu memicu terjadinya perang dagang.
Logikanya, jika satu negara mulai melakukan pembatasan ekspor bahan pangan, negara lain berpeluang mengikutinya dengan membatasi ekspor untuk komoditas lain yang biasa diimpor oleh negara tersebut.
Jika hal itu terjadi, tentu akan menjadi malapetaka bagi pasar dunia, terutama malapetaka untuk pasar makanan pokok.
Untuk itu, Indonesia perlu melakukan diplomasi ekonomi secara aktif ke negara-negara asal barang impor nasional yang ikut menghentikan ekspornya, baik unilateral maupun multilateral, untuk mencairkan suasana agar negara-negara eksportir bahan makanan tidak sepenuhnya menutup kran ekspor, tapi disesuaikan dengan kebutuhan domestik mereka, lalu sisanya bisa tetap dieskspor.
Hal itu sangat perlu dilakukan mengingat Indonesia masih tergolong negara dengan masalah kelaparan serius, yang membutuhkan kepastian suplai bahan pangan, baik dari pasar domestik maupun global.
Menurut data Global Hunger Index 2019, Indonesia berada di peringkat 70 dari 117 negara dengan nilai 20,1 dan masuk kategori serius.
Raihan nilai tersebut mengalami penurunan dari tahun 2010 (24,9) dan 2005 (26,8). Parahnya lagi, posisi Indonesia makin memburuk tahun 2021 karena makin terpuruk ke posisi 73 dari 117 negara.
Skornya makin tergerus menjadi 18. Artinya, Indonesia sangat membutuhkan kepastian pasokan bahan pangan, agar ancaman kelaparan bisa diminimalisasi.
Selain itu, Indonesia juga masih mengimpor beberapa jenis makanan pokok dari luar negeri, termasuk beras dan jagung.
Berdasar data Biro Pusat Statistik(BPS) pada 2018 misalnya, Indonesia paling banyak mengimpor jagung dari Argentina, yakni sebanyak 238,06 ribu ton atau senilai 51,56 juta dollar AS.
Bahkan dari penjelasan Jokowi belum lama ini, impor jagung Indonesia tembus 800.000 ton. Tentu akan sangat berbahaya bagi Indonesia jika salah satu negara asal impor jagung nasional itu menutup pintu ekspornya.
Suplai pakan ternak akan kering, harga daging terkerek naik dan akan membebani puluhan juta rumah tangga.
Pendeknya, pemerintah harus mengantisipasi agar tidak terjadi kelangkaan komoditas bahan makanan dan sayuran di level domestik, baik dengan diplomasi ekonomi, atau dengan penguatan kapasitas produksi komoditas bahan pokok nasional, dan atau dengan pembenahan tata kelola rantai pasok bahan pokok nasional.
Karena bagaimanapun, stabilitas pasokan dan harga barang-barang pokok berkategori makanan (pangan) sangat krusial sifatnya.
Selain berkontribusi besar pada tingkat inflasi, juga memiliki efek luar biasa pada sistem ekonomi dan politik nasional jika gagal dikelola dengan baik.
Apalagi saat ini masih ada ancaman baru Covid 19. Jika angkanya kembali naik, protokol kesehatan tentu akan ditingkatkan lagi dan akan mempersulit kapasitas produksi bahan pangan dan memperlambat pergerakan pasokan.
Pemerintah tentu harus siap dengan kondisi terpahit seperti itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.