Salah satunya sangat mungkin karena faktor Megawati sendiri. Selepas Pemilu 2019, muncul dorongan kuat agar tokoh-tokoh “senior” bersedia melepas kursi ketua umum partai.
Dalam beberapa kesempatan Megawati juga mempersilakan kader-kadernya untuk mencari penggantinya, meski banyak yang menilai hanya gimmick.
Kandidat kuat pengganti Megawati tentu saja Puan. Pertanyaannya, mengapa Megawati belum mau melakukan transformasi kekuasaan kepada anaknya seperti yang dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)?
Kita paham setiap parpol memiliki tata cara dan hitung-hitungan politik sendiri. Salah satunya mungkin karena belum ada calon pengganti yang memiliki kapasitas dan kemampuan setara atau bahkan melebihi ketua umum saat ini.
Berangkat dari asumsi itu juga maka kita menyimpulkan Megawati merasa belum memiliki calon pengganti yang setara, minimal mendekati kehebatannya, termasuk Puan.
Jika Megawati sendiri belum sepenuhnya percaya Puan dapat memimpin PDIP, lalu bagaimana masyarakat (bisa) percaya Puan dapat memimpin negara yang memiliki kompleksitas persoalan melebihi partai?
Tidak ada keharusan capres menjadi ketua umum parpol. Tetapi dalam kasus Puan, faktor ini menjadi ikut dinilai karena alasan di atas.
Penyebab lain, Puan belum ditetapkan sebagai capres oleh PDIP. Dengan demikian kader-kader di bawah masih bebas memberikan suara untuk calon lain.
Mengapa PDIP tidak berani sedikit melanggar “tradisi” penetapan capres mendekati last minute pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU) jika memang ada dorongan kuat dari lingkar dalam (inner circle) untuk mengusung Puan?
Komunikasi politik juga menjadi penyebab lain yang memengaruhi elektabiltas Puan. Tentu Puan sudah banyak melakukan pertemuan informal dengan petinggi parpol lain.
Tetapi kita ingin melihat Puan berkunjung ke markas “parpol tetangga” atas nama PDIP. Ini sangat penting untuk menunjukkan kepada publik dirinya tidak asyik sendiri di “rumah ibunya”.
Faktor lain yang tidak kalah penting, yakni tim komunikasi politik yang diinisiasi dan dipimpin oleh tokoh dari eksternal PDIP.
Selama ini Puan terkesan hanya mengandalkan “partisipasi” kader-kader PDIP seperti tampak pada pemasangan baliho dan pembagian bantuan sosial bergambar dirinya.
Jangan salahkan masyarakat yang apatis pada model sosialisasi jadul, terkesan monoton dan kurang inovatif seperti itu.
Pelibatan pihak nonpartai sangat penting untuk membuktikan dirinya tidak “jago kandang”.