Konflik dan ketegangan kerap terjadi karena masing-masing pihak mengklaim kebenaran sebagai milik pribadi atau golongannya sendiri.
Bahaya dari sikap demikian ialah kebenaran bisa berubah menjadi ideologi. Paul F. Knitter dalam Pengantar Teologi Agama-Agama (2008) menulis, “Kebenaran menjadi ideologi kalau kelompok atau masyarakat atau agama mengejar, memperkokoh dan memberitakan sesuatu sebagai yang benar bukan hanya karena mereka yakini demikian, tetapi karena – sadar atau tidak – kebenaran itu memperkokoh kekuasaan mereka atas yang lain”.
Ideologi, menurutnya, seperti napas yang bau. Kita memerlukan seseorang untuk mengatakannya kepada kita.
Agar kebenaran yang kita yakini tidak menjadi alat untuk menguasai dan menindas orang lain, maka pentinglah bagi kita untuk mau membuka diri. Dengan kata lain, kita mau memahami kebenaran yang terdapat dalam diri orang lain.
Dalam buku yang sama Paul F. Knitter menegaskan bahwa untuk memahami kebenaran, kita harus berkomunikasi dengan sesama; itu berarti berbicara dengan dan mendengarkan mereka yang sama sekali berbeda dengan kita.
Karena itu, dalam konteks bangsa kita yang plural ini tak ada jalan lain selain belajar memahami orang lain, berbicara dengan mereka serta mendengarkan pergulatan mereka dalam menjalani hidup.
Segala hal baik yang kita dengar dari orang lain tidak hanya akan menambah wawasan kita, tapi juga sedikit banyak dapat mempertebal keimanan kita.
Bila semua pihak sudah mampu sampai pada taraf ini, maka sekat-sekat yang ada tidak lagi akan menjadi penghalang dalam menciptakan kebaikan bersama (bonum commune) serta dalam berbela rasa dengan sesama meskipun berbeda.
Kita merindukan hidup yang penuh damai. Hidup yang saling menerima dan menghargai satu sama lain tanpa membedakan suku dan warna kulit.
Namun, hidup yang penuh damai itu hanya akan bisa tercipta bila kita memiliki pedoman dan landasan yang bisa menjadi pijakan kita bersama.
Menemukan pedoman dan landasan bersama menjadi penting sebab bila kita berbicara tentang Indonesia, kita berbicara tentang keragaman suku, bahasa dan agama yang menjadi ciri khas bangsa kita.
Menjadikan seperangkat aturan atau dogma dari suku, agama atau golongan tertentu sebagai pedoman hidup bersama menjadi satu hal yang mustahil.
Jika itu yang terjadi, hidup rukun dan damai yang menjadi cita-cita kita bersama tidak akan tercapai.
Sebab, masing-masing suku, agama atau golongan akan saling mengklaim bahwa norma atau ajaran merekalah yang paling benar dan patut dijadikan pedoman.
Menjadikan Pancasila sebagai pedoman dan landasan hidup bersama, dengan demikian, adalah sebuah keharusan agar hidup rukun dan damai serta kemajuan yang kita impikan bersama bisa terwujud.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.