Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gregorius Nyaming
Pastor

Mahasiswa S3 jurusan teologi dogmatik di The John Paul II Catholic University of Lublin

Pancasila dan Perjumpaan dengan Kardinal Stanislaw Dziwisz

Kompas.com - 01/06/2022, 15:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEKAYAAN tradisi dan budaya serta keindahan alam bangsa Indonesia barangkali sudah banyak dikenal dan diketahui oleh orang dari bangsa lain. Suatu hal yang tentu membuat kita merasa senang, bangga dan bahagia.

Akan tetapi, bagaimana rasanya bila orang asing mengetahui kalau Pancasila merupakan identitas bangsa Indonesia? Tidakkah hal itu semakin membuat kita bangga dan bahagia?

Itulah yang saya alami ketika berjumpa dengan Kardinal Stanislaw Dziwisz, yang pernah menjadi sekretaris pribadi mendiang St. Yohanes Paulus II hampir selama 40 tahun.

Nah, suatu kali di kampus kami diadakan sebuah acara khusus dalam rangka mengenang mendiang Santo Paus Yohanes Paulus II sebagai pelindung kampus. Salah satu tamu yang diundang ialah Kardinal Stanislaw Dziwisz.

Saya sangat senang mendengar kabar kalau beliau akan hadir. Kebetulan saya menyimpan satu buku yang ditulis oleh beliau dan sudah dialihbahasakan oleh Sr. Paula, CP: Lebih Jauh Bersama Karol Wojtyla (2010).

Saya berpikir momen indah ini menjadi kesempatan yang baik untuk meminta beliau membubuhkan tanda tangannya pada buku tersebut.

Setelah acara selesai, saya berusaha menghampiri beliau agar berkenan membubuhkan tanda tangannya.

Dengan ramah beliau menerima kehadiran saya dan dengan senang hati menyematkan tanda tangan pada buku yang saya sodorkan.

Namun, ada satu hal yang membuat saya kaget, mengetahui bahwa saya berasal dari Indonesia, sambil tersenyum beliau hanya mengucapkan satu kata, "Pancasila".

Rasa bangga dan bahagia tak tertahankan mengetahui sesuatu yang menjadi identitas bangsa sendiri diketahui oleh orang asing.

Hanya sayang rasa bahagia dan bangga itu berbalut rasa sedih karena teringat akan konflik dan ketegangan yang sering terjadi di tanah air akibat belum bisa menerima perbedaan satu sama lain.

Saya hanya membatin, bila orang asing saja mengetahui dan menghargai identitas bangsa kita, mengapa kita sesama anak bangsa begitu sulit untuk hidup rukun dan damai sebagai satu saudara berlandaskan Pancasila?

Perbedaan merupakan realitas yang tak dapat kita sangkal. Karena itu, perbedaan sekali lagi patut kita syukuri, kita banggakan dan kita pelihara.

Pertanyaan yang lebih penting kemudian ialah bukan tentang mengapa kita berbeda, melainkan tentang bagaimana kita menyikapi dan memaknai perbedaan tersebut.

Pertanyaan 'bagaimana' menyiratkan sebuah panggilan kepada semua pihak untuk terlibat secara penuh dalam merawat perbedaan.

Konflik dan ketegangan kerap terjadi karena masing-masing pihak mengklaim kebenaran sebagai milik pribadi atau golongannya sendiri.

Bahaya dari sikap demikian ialah kebenaran bisa berubah menjadi ideologi. Paul F. Knitter dalam Pengantar Teologi Agama-Agama (2008) menulis, “Kebenaran menjadi ideologi kalau kelompok atau masyarakat atau agama mengejar, memperkokoh dan memberitakan sesuatu sebagai yang benar bukan hanya karena mereka yakini demikian, tetapi karena – sadar atau tidak – kebenaran itu memperkokoh kekuasaan mereka atas yang lain”.

Ideologi, menurutnya, seperti napas yang bau. Kita memerlukan seseorang untuk mengatakannya kepada kita.

Agar kebenaran yang kita yakini tidak menjadi alat untuk menguasai dan menindas orang lain, maka pentinglah bagi kita untuk mau membuka diri. Dengan kata lain, kita mau memahami kebenaran yang terdapat dalam diri orang lain.

Dalam buku yang sama Paul F. Knitter menegaskan bahwa untuk memahami kebenaran, kita harus berkomunikasi dengan sesama; itu berarti berbicara dengan dan mendengarkan mereka yang sama sekali berbeda dengan kita.

Karena itu, dalam konteks bangsa kita yang plural ini tak ada jalan lain selain belajar memahami orang lain, berbicara dengan mereka serta mendengarkan pergulatan mereka dalam menjalani hidup.

Segala hal baik yang kita dengar dari orang lain tidak hanya akan menambah wawasan kita, tapi juga sedikit banyak dapat mempertebal keimanan kita.

Bila semua pihak sudah mampu sampai pada taraf ini, maka sekat-sekat yang ada tidak lagi akan menjadi penghalang dalam menciptakan kebaikan bersama (bonum commune) serta dalam berbela rasa dengan sesama meskipun berbeda.

Kita merindukan hidup yang penuh damai. Hidup yang saling menerima dan menghargai satu sama lain tanpa membedakan suku dan warna kulit.

Namun, hidup yang penuh damai itu hanya akan bisa tercipta bila kita memiliki pedoman dan landasan yang bisa menjadi pijakan kita bersama.

Menemukan pedoman dan landasan bersama menjadi penting sebab bila kita berbicara tentang Indonesia, kita berbicara tentang keragaman suku, bahasa dan agama yang menjadi ciri khas bangsa kita.

Menjadikan seperangkat aturan atau dogma dari suku, agama atau golongan tertentu sebagai pedoman hidup bersama menjadi satu hal yang mustahil.

Jika itu yang terjadi, hidup rukun dan damai yang menjadi cita-cita kita bersama tidak akan tercapai.

Sebab, masing-masing suku, agama atau golongan akan saling mengklaim bahwa norma atau ajaran merekalah yang paling benar dan patut dijadikan pedoman.

Menjadikan Pancasila sebagai pedoman dan landasan hidup bersama, dengan demikian, adalah sebuah keharusan agar hidup rukun dan damai serta kemajuan yang kita impikan bersama bisa terwujud.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com