KEKAYAAN tradisi dan budaya serta keindahan alam bangsa Indonesia barangkali sudah banyak dikenal dan diketahui oleh orang dari bangsa lain. Suatu hal yang tentu membuat kita merasa senang, bangga dan bahagia.
Akan tetapi, bagaimana rasanya bila orang asing mengetahui kalau Pancasila merupakan identitas bangsa Indonesia? Tidakkah hal itu semakin membuat kita bangga dan bahagia?
Itulah yang saya alami ketika berjumpa dengan Kardinal Stanislaw Dziwisz, yang pernah menjadi sekretaris pribadi mendiang St. Yohanes Paulus II hampir selama 40 tahun.
Nah, suatu kali di kampus kami diadakan sebuah acara khusus dalam rangka mengenang mendiang Santo Paus Yohanes Paulus II sebagai pelindung kampus. Salah satu tamu yang diundang ialah Kardinal Stanislaw Dziwisz.
Saya sangat senang mendengar kabar kalau beliau akan hadir. Kebetulan saya menyimpan satu buku yang ditulis oleh beliau dan sudah dialihbahasakan oleh Sr. Paula, CP: Lebih Jauh Bersama Karol Wojtyla (2010).
Saya berpikir momen indah ini menjadi kesempatan yang baik untuk meminta beliau membubuhkan tanda tangannya pada buku tersebut.
Setelah acara selesai, saya berusaha menghampiri beliau agar berkenan membubuhkan tanda tangannya.
Dengan ramah beliau menerima kehadiran saya dan dengan senang hati menyematkan tanda tangan pada buku yang saya sodorkan.
Namun, ada satu hal yang membuat saya kaget, mengetahui bahwa saya berasal dari Indonesia, sambil tersenyum beliau hanya mengucapkan satu kata, "Pancasila".
Rasa bangga dan bahagia tak tertahankan mengetahui sesuatu yang menjadi identitas bangsa sendiri diketahui oleh orang asing.
Hanya sayang rasa bahagia dan bangga itu berbalut rasa sedih karena teringat akan konflik dan ketegangan yang sering terjadi di tanah air akibat belum bisa menerima perbedaan satu sama lain.
Saya hanya membatin, bila orang asing saja mengetahui dan menghargai identitas bangsa kita, mengapa kita sesama anak bangsa begitu sulit untuk hidup rukun dan damai sebagai satu saudara berlandaskan Pancasila?
Perbedaan merupakan realitas yang tak dapat kita sangkal. Karena itu, perbedaan sekali lagi patut kita syukuri, kita banggakan dan kita pelihara.
Pertanyaan yang lebih penting kemudian ialah bukan tentang mengapa kita berbeda, melainkan tentang bagaimana kita menyikapi dan memaknai perbedaan tersebut.
Pertanyaan 'bagaimana' menyiratkan sebuah panggilan kepada semua pihak untuk terlibat secara penuh dalam merawat perbedaan.