JAKARTA, KOMPAS.com - Kepergian Ahmad Syafii Maarif meninggalkan duka mendalam bagi bangsa Indonesia.
Sosoknya begitu dihormati oleh para tokoh bangsa. Pemikirannya banyak dijadikan pertimbangan para pemimpin dalam mengambil keputusan-keputusan besar, tak terkecuali di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Buya pernah ditunjuk untuk menjadi tim independen pencari fakta guna menyelesaikan konflik antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain Buya, ada 8 tokoh lainnya.
Baca juga: Kenangan Terakhir Jokowi Bersama Buya Syafii Maarif...
Buya Syafii diamanatkan menjadi ketua tim. Sementara, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie menjadi wakil ketua, dan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menjadi sekretaris.
Tim independen itu dibentuk untuk meredakan ketegangan di masyarakat menyikapi penetapan tersangka calon Kapolri Komjen Budi Gunawan oleh KPK.
Sekadar kilas balik, awal Januari 2015, Jokowi mengajukan nama Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri. Namun, 3 hari setelahnya tepatnya 13 Januari 2015, KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi.
KPK menduga, ada transaksi mencurigakan atau tidak wajar di rekening Budi Gunawan.
Baca juga: Mengenang Kedekatan Buya Syafii dan Jokowi, Sang Guru Bangsa yang Didengar Presiden
Atas penetapannya sebagai tersangka, BG, begitu sapaan akrab Budi, mengajukan gugatan praperadilan. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kala itu mengabulkan gugatan Budi Gunawan dan menyatakan penetapan dirinya sebagai tersangka tidak sah.
Saat itu, hakim menyatakan bahwa KPK tak punya kewenangan untuk mengusut kasus yang menjerat Budi Gunawan.
Situasi politik pun memanas. Atas polemik ini, Jokowi akhirnya menunda pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Sebagai pimpinan tim independen dalam perkara ini, Buya Syafii sempat geram pada Jokowi. Buya menilai, Jokowi terkesan ragu dalam memutus nasib Budi Gunawan.
Padahal, tim independen sebelumnya telah memberikan sejumlah rekomendasi kepada Jokowi terkait kisruh KPK dengan Polri. Namun demikian, Jokowi tak kunjung mengambil sikap untuk segera menyelesaikannya.
"Jokowi terlalu lambat. Semua opsi sudah kami berikan, dan setiap opsi pasti memiliki risiko," katanya di Kantor Maarif Institute, Jakarta, 17 Februari 2015.
Buya kala itu mengingatkan bahwa setiap keputusan pasti mengandung risiko. Seorang pemimpin, kata dia, harus berani mengambil risiko.
"Seorang pemimpin sejati pasti berani mengambil risiko. Dilantik atau tidak dilantiknya Budi Gunawan pasti ada risikonya," ucap Buya.
Baca juga: Mengenang Syafii Maarif, Tak Pernah Rayakan Ultah dan Rajin Mentraktir