Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hukuman yang Belum Buat Kapok Koruptor dan Kritik soal Kepekaan Aparat

Kompas.com - 25/05/2022, 07:01 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyoroti soal penindakan hukum terhadap terpidana kasus korupsi sepanjang 2021 yang dinilai masih belum memberikan efek jera dan pengembalian kerugian negara yang minim.

Menurut Abdul, yang harus dibenahi adalah soal kepekaan aparat penegak hukum, terutama jaksa penuntut umum dari Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta hakim, dalam melakukan penuntutan dan menjatuhkan vonis.

Abdul mengatakan, karena korupsi digolongkan kejahatan luar biasa, maka seharusnya cara pandang aparat penegak hukum dalam menghadapi perkara itu tidak bisa disamakan dengan kasus pidana umum.

"Masalahnya kan sudah jelas, menurunnya kepekaan aparat penegak hukum terutama pada kasus kasus korupsi yang seharusnya ditempatkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime)," kata Abdul saat dihubungi Kompas.com, Selasa (24/5/2022).

"Pada kenyataannya hanya dilihat sebagai perkara biasa, itu artinya kepekaan penegak hukum (jaksa dan hakim) sudah bergeser," sambung Abdul.

Baca juga: Sepanjang 2021, Rata-rata Terdakwa Kasus Korupsi Dituntut Tak sampai 4,5 Tahun Penjara oleh KPK dan Kejaksaan

Selain persoalan kepekaan, Abdul juga mempersoalkan tentang hakikat dari menghukum para pelaku tindak pidana korupsi. Menurut dia, para penegak hukum seharusnya tidak hanya fokus memberikan hukuman penjara kepada koruptor, tetapi juga berupaya untuk membuat pelaku mengganti kerugian negara dengan setimpal.

"Salah satu tujuan penuntutan perkara korupsi itu adalah pengembalian kerugian negara yang sebesar-besarnya, tetapo kenyataannya justru yang terjadi seolah-olah penghukuman badan itu menjadi tujuan utamanya," ujar Abdul.

"Sehingga upaya untuk mengembalikan kerugian negara terabaikan, bahkan cenderung dianggap sepele. Karena itu terlihat jaksa dan pengadilan kurang sungguh-sungguh untuk menyita aset koruptor yang seharusnya dikembalikan kepada negara," lanjut Abdul.

Baca juga: Negara Rugi Rp 62,9 Triliun karena Korupsi pada 2021, yang Kembali Hanya Rp 1,4 Triliun

Dalam paparan pada akhir pekan lalu, ICW menyoroti tiga titik kelemahan penegak hukum dalam tren putusan kasus korupsi, yakni dari vonis yang ringan, tuntutan jaksa dari Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai kurang maksimal, sampai pengembalian kerugian keuangan negara yang tidak sepadan dengan nilai korupsi.

Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam jumpa pers daring yang diunggah di kanal YouTube, Minggu (22/5/2022), sepanjang 2021 terdapat 1.282 perkara dan 1.404 terdakwa kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi serta pihak kejaksaan, baik Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Negeri.

Akan tetapi, dari ribuan perkara itu, rata-rata tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum dari kedua lembaga itu hanya 4 tahun 5 bulan. Sedangkan untuk kasus korupsi yang dikenakan pasal dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara, rata-rata tuntutannya 55 bulan atau 4 tahun 7 bulan.

Sementara, untuk perkara dengan hukuman maksimum 5 tahun penjara, rata-rata tuntutannya hanya 2 tahun 9 bulan.

Menurut Kurnia, terdapat peningkatan tren tuntutan dibandingkan 2020. Meski begitu, ICW memandang hal tersebut belum memuaskan lantaran peningkatan trennya yang rendah.

Baca juga: Rata-rata Terdakwa Kasus Korupsi pada 2021 Divonis Ringan oleh Majelis Hakim

Selain itu, latar belakang terpidana korupsi yang merupakan pejabat publik seharusnya membuat jaksa memberikan tuntutan hukuman yang lebih maksimal.

Korps Adhyaksa tercatat menjadi lembaga yang paling banyak memberikan tuntutan ringan (0-4 tahun penjara). Total, ada 623 terdakwa yang dituntut ringan. Sementara, yang dituntut sedang (4-10 tahun) ada 587 terdakwa, dan hanya 44 terdakwa yang dituntut berat atau lebih dari 10 tahun.

"Kita tahu surat tuntutan tidak berdampak langsung pada terdakwa karena hakim memutus berdasarkan surat dakwaan. Namun, dari tuntutan, kita bisa melihat perspektif menegak hukum, apalagi mereka dianggap sebagai representasi korban yaitu dalam hal ini negara dan masyarakat," ujar Kurnia.

Selain itu, kata Kurnia, tren vonis hakim dalam perkara korupsi sepanjang 2021 dinilai belum mencerminkan rasa keadilan. Sebab rata-rata vonis yang dijatuhkan majelis hakim terhadap terdakwa korupsi pada tahun lalu sekitar 3,5 tahun penjara.

Selain itu, 24 terdakwa yang terbukti korupsi anggaran penanganan pandemi Covid-19 juga rata-rata hanya divonis 3,5 tahun penjara.

Baca juga: KPK: Analisis Vonis Kasus Korupsi 2021 ICW Salah Kaprah

"Yang dituntut dari korupsi sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) adalah treatment (penanganan) yang juga luar biasa dan tidak sama dengan tindak pidana umum, termasuk di dalamnya tuntutan penegak hukum dan juga vonis majelis hakim," lanjut Kurnia.

ICW juga menyoroti sisi pengembalian kerugian keuangan negara dari kasus korupsi sepanjang 2021 yang dinilai tidak sebanding. Menurut Kurnia, 2021 juga menjadi tahun di mana angka kerugian negara yang tercatat akibat kasus korupsi, terbanyak dalam lima tahun terakhir yakni sebesar Rp 62,9 triliun.

Akan tetapi jumlah pengembalian kerugian keuangan negara yang dijatuhkan majelis hakim terhadap pelaku rasuah hanya Rp 1,4 triliun atau 2,2 persen.

ICW menemukan, rendahnya jumlah uang pengganti ini tak terlepas dari pidana penjara pengganti pada 2021 yang, jika dirata-rata, hanya selama 1 tahun 2 bulan penjara.

Hal ini ditengarai membuat para terpidana memilih menjalani pidana penjara pengganti, ketimbang harus membayar uang pengganti yang jumlahnya bisa mencapai puluhan, ratusan juta, atau miliaran rupiah.

"Kita tahu pemberian efek jera tidak cukup mengandalkan pemenjaraan tapi mesti paralel dengan pengembalian kerugian negara," kata Kurnia.

Baca juga: MAKI: Koruptor Seharusnya Dituntut 20 Tahun atau Seumur Hidup

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia Ketut Sumedana mengatakan catatan itu merupakan kewenangan ICW untuk memberikan penilaian.

"Itukan penilaian mereka kita tidak bisa membatasi," ujar Ketut saat dihubungi Kompascom, Senin (23/5/2022).

Menurut dia, jajaran Korps Adhyaksa tetap bekerja secara maksimal untuk memberikan kinerja yang lebih baik. Ia juga mengatakan, catatan ICW itu akan dijadikan bahan instrospeksi jajaran.

"Semua kita jadikan bahan introspeksi dan motivasi kedepan untuk kinerja kejaksaan lebih baik," ucap dia.

Sedangkan KPK menilai analisis ICW perihal tren tuntutan, vonis, dan pengembalian kerugian negara dalam kasus korupsi sepanjang 2021 salah kaprah.

"Dari analisis yang salah kaprah tersebut, maka kesimpulan premature yang dihasilkan pun bisa dipastikan keliru," ujar Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, kepada Kompas.com, Senin (23/5/2022).

Baca juga: ICW Sebut Kejagung Banyak Beri Tuntutan Ringan ke Koruptor, Komjak: Kasus Harus Dilihat secara Utuh

"Terutama pembahasan pada aspek pidana badan, jumlah uang pengganti, maupun tuntutan pidana tambahan lainnya," ucapnya.

Ali berpendapat, kesalahan analisis ICW terletak saat mencampuradukkan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan Pasal penyuapan dan gratifikasi.

Padahal, untuk menghitung besarnya kerugian negara kasus yang dianalisis seharusnya hanya yang dijerat dengan Pasal 2 atau 3 Undang-Undang Tipikor.

(Penulis : Rahel Narda Chaterine, Irfan Kamil | Editor : Dani Prabowo, Krisiandi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya 'Clean and Clear'

Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya "Clean and Clear"

Nasional
Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Nasional
Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada 'Presidential Club'

Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada "Presidential Club"

Nasional
Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Nasional
“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

Nasional
Soal Orang 'Toxic' Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Soal Orang "Toxic" Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Nasional
Cak Imin Harap Pilkada 2024 Objektif, Tak Ada “Abuse of Power”

Cak Imin Harap Pilkada 2024 Objektif, Tak Ada “Abuse of Power”

Nasional
Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Nasional
Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Nasional
Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Nasional
Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Nasional
Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Nasional
Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com