BELAKANGAN ragam persoalan silih berganti mencuat ke publik. Mulai soal politik, ekonomi, hukum dan sosial.
Ruang publik tampak gaduh. Bila diidentifikasi, ragam persoalan tersebut tak bisa dilepaskan dari negara.
Sejumlah persoalan tersebut seperti soal sengkarut minyak goreng, kenaikan sejumlah komoditi pangan, kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax hingga polemik tentang gagasan penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Situasi tersebut pada akhirnya memantik kegundahan publik. Aksi demonstrasi massa mahasiswa di sejumlah kota di Indonesia pada April lalu, menandai publik tengah gelisah.
Kegelisahan tersebut dipicu karena persoalan hak dasar publik, yakni persoalan isu kedaulatan melalui usulan penundaan pemilu dan kebutuhan dasar warga terusik.
Munculnya ragam soal tersebut memberi sinyal kuat tentang tidak maksimalnya negara dalam memerankan fungsinya.
Kewenangan (authority) yang dimiliki negara tidak sepenuhnya dioptimalkan. Risiko dari situasi ini, tujuan bernegara menjadi tidak tercapai dengan maksimal. Ini lantaran, tujuan dan fungsi saling terkait, berjalin kelindan.
Para pendiri bangsa (the founding fathers) merumuskan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dituangkan dalam aliena keempat pembukaan UUD 1945.
Tujuan bernegara itu, yakni; melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tujuan bernegara tersebut muncul seiring disusunnya kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, menurut Muh Yamin (1951) disebut sebagai kemerdekaan yang penuh dan sempurna (complete-independence) yang ditandai dengan tiga kemerdekaan sekaligus, yakni kemerdekaan pemerintahan, kemerdekaan daerah dan kemerdekaan rakyat.
Perumusan tentang tujuan bernegara dimulai sejak diproklamasikan negara Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Indonesia menjadi penanda dimulainya titik KM 0 Indonesia bernegara.
Keberadaan NKRI yang berdasarkan Pancasila, menurut Padmo Wahjono (1982) bukanlah semata-mata tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan bernegara.
Di sisi yang lain, UUD 1945, yang di dalamnya terdiri dari pembukaan dan batang tubuh, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan UUD 1945, memuat pokok-pokok pikiran yang mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara.
Cita-cita hukum tersebut yang menjadi landasan filosofis dalam berbangsa dan bernegara. Segala tindakan negara tidak boleh keluar dari bingkai cita-cita hukum tersebut.
Nilai tersebut pula yang menjadi landasan dalam setiap gerak penyelenggara negara yang dituangkan melalui peraturan perundang-undangan (regeling) maupun penetapan (beschikking).