Sayangnya, hal ini memutus jejaring komunitas masyarakat sebelumnya, serta menghilangkan identitas kultural mereka.
Konsep gentrifikasi mengalami perkembangan bukan hanya dalam disiplin sosiologi, tetapi juga merambah ke psikologi sosial.
Seorang desainer sosial budaya dari IKN Nusantara - bila sayembara ini diadakan - di samping akan mengupayakan ukuran-ukuran yang sahih dan andal untuk mengetahui laju gentrifikasi, juga akan melakukan pemetaan sikap penduduk asli Kalimantan Timur terhadap proses gentrifikasi.
Pemetaan psikologis juga dilakukan terhadap persepsi mereka mengenai ancaman simbolis maupun realistis yang mereka rasakan dan alami di tingkat komunal (suku), propinsi (Kalimantan Timur), maupun bangsa (Indonesia).
Dengan demikian, sayembara desain sosial budaya IKN Nusantara akan merangsang sebuah program riset yang akan mengungkap ke permukaan konflik-konflik ideologis dan penolakan-penolakan (atau sebaliknya: dukungan dan penerimaan) di sekitar proses gentrifikasi.
Peserta sayembara tidak hanya akan mempertanggungjawabkan proposalnya dalam satu waktu (one-shoot), melainkan juga secara berkelanjutan dapat diminta untuk mengenali bagaimana persepsi penduduk tentang gentrifikasi dan akibat yang diterimanya (misal, migrasi, bahkan yang berujung pada segregasi) mengalami perubahan sepanjang waktu.
Secara psikologis, perlu diidentifikasi narasi-narasi yang dimiliki oleh penduduk yang membuat ingatan mereka terhadap "rumah sebelumnya" tetap bertahan; atau justru narasi-narasi yang membuat mereka kukuh untuk memulai "kehidupan yang baru tanpa menoleh lagi ke belakang".
Sebuah penyelidikan psikohistoris akan mengajukan berbagai persoalan kritis, seperti: Struktur politik dan ekonomi apakah yang secara kesejarahan telah mengabaikan atau merusak lingkungan yang menjadi “target gentrifikasi” (misal, lingkungan awal IKN Nusantara)?
Benarkah asumsi bahwa banyak penduduk sebelumnya menghadapi berbagai keterbatasan yang jalan keluar terbaiknya menurut mereka adalah gentrifikasi?
Apakah lingkungan menerima investasi baik dari publik maupun swasta? Siapa yang dilayani oleh investasi di wilayah yang digentrifikasikan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat penting untuk dijawab. Tujuannya adalah agar pandangan tentang gentrifikasi tidak berat sebelah, seolah-olah gentrifikasi – yang niscaya mengiringi pembangunan IKN Nusantara – pasti merugikan penduduk asli.
Permasalahan tersebut dapat diusahakan jawabnya oleh desainer sosial budaya IKN Nusantara untuk membedakan antara (1) Gentrifikasi sebagai produk sistem politik-ekonomi yang bersifat melayani diri Pemerintah sendiri (self-serving) tanpa empati (otoriter "atas nama pembangunan"), ataukah (2) Gentrifikasi sebagai proses pemulihan sebuah lingkungan yang memang diinginkan dan layak diperoleh penduduk asli.
Penggambaran gentrifikasi oleh media massa - meskipun tidak eksplisit menggunakan terminologi itu - juga patut dilihat koneksinya dengan kesejahteraan psikologis warga.
Keragaman posisi dari orang-orang dalam komunitas yang sama dalam menyikapi gentrifikasi penting juga menjadi masukan desain ibu kota baru.
Bila persoalan gentrifikasi terkait aspek psikologi sosial, bagaimana dengan aspek psikobiologi IKN Nusantara?
Sebuah ibu kota negara diharapkan tidak menjadi kota yang "tidur", melainkan kota yang aktif, bahkan melebihi aktivitas kota-kota lainnya.
Di era hustle culture, yang dibutuhkan masyarakat adalah kesejahteraan psikologis saat menjalani berbagai kegiatan.
Salah satu arena untuk mengetahui dan memetakan itu adalah laboratorium neuropsikologi.