KONFLIK agraria, dialog Pemerintah dengan masyarakat adat yang dinilai hanya melibatkan kaum elite, serta kontribusi pemindahan ibu kota sebagai bagian solutif atas berbagai masalah bangsa, merupakan isu yang mengemuka ketika Ibu Kota Negara yang baru, IKN Nusantara, sedang ramai didiskusikan dalam berbagai forum warga yang peduli.
Sayangnya, sayembara yang diadakan Pemerintah terkait IKN Nusantara selama ini berfokus pada konsep gagasan desain fisik.
Meskipun sejumlah pemenang sayembara dalam deskripsi desainnya mengikutkan kata-kata kunci 'masyarakat', 'identitas', dan 'berkelanjutan', namun tampak berhenti pada simbolisme.
Kita menantikan adanya sayembara desain psikososiokultural (psikologis, sosial, dan budaya) untuk pembangunan IKN Nusantara.
Sebuah desain yang diharapkan bukan hanya membalut desain lingkungan fisik, melainkan - lebih daripada itu - memandunya.
Desain itu tidak harus dipimpin oleh seorang psikolog, sosiolog, atau antropolog, karena yang terpenting adalah bagaimana sang pembuat desain melibatkan keahlian di bidang-bidang itu.
Ketika sebagian ekonom gusar apakah kegigihan Pemerintah membangun IKN Nusantara akan meringankan - atau justru memarahkan - permasalahan ekonomi yang dihadapi Indonesia, sebaiknya jangan dilupakan bahwa psikologi pun pernah dinilai membawa titik cerah pada bidang ekonomi.
Yang paling monumental adalah ketika seorang psikolog sosial, Daniel Kahneman, memperoleh hadiah nobel justru pada bidang ekonomi.
Ia dianugerahi Nobel Memorial Prize in Economic Sciences pada tahun 2002, karena dianggap berjasa dalam mengintegrasikan konsep irasionalitas manusia dalam teori ekonomi modern.
Lima belas tahun kemudian (2017), Richard Thaler, seorang ekonom, memperoleh hadiah nobel yang sama berkat kontribusinya dalam ekonomi keperilakuan (behavioral economics).
Salah satu pokok pikirannya adalah bahwa persepsi - sekali lagi: persepsi - keadilan memegang peran penting dalam perilaku ekonomi.
Kiprah psikologi tersebut dapat dibawa ke konteks pembangunan IKN Nusantara. Siapapun desainer sosial budaya IKN Nusantara kelak perlu memiliki ekspertis, atau setidaknya literasi, dalam psikologi persepsi masyarakat. Ini adalah suatu aspek yang seringkali diabaikan.
Pengabaian itu terungkap dalam pernyataan seorang Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden belum lama ini, ketika ia menyampaikan bahwa etis atau tidaknya penerbitan regulasi turunan IKN Nusantara yang masih dalam sengketa di Mahkamah Konstitusi cukup diukur berdasarkan fakta hukum, bukan persepsi hukum masyarakat.
Banyak persoalan IKN Nusantara yang sudah dibahas oleh para penulis dan kritikus. Dalam artikel ini, saya mengangkat dua dimensi psikologis dari pembangunan IKN Nusantara, yaitu gentrifikasi dan neuropsikologi kota.
Gentrifikasi merupakan sebuah istilah yang dicetuskan oleh sosiolog Inggris bermazhab Marxis pada 1964, yang merujuk pada proses rehabilitasi dan pembangunan rumah-rumah dan properti-properti bisnis di lingkungan yang mengalami deteorisasi (pemburukan keadaan), atau di lingkungan yang dinilai tidak berkembang.
Gejala ini beriringan dengan masuknya kelas menengah dan seringkali menginduksi terjadinya migrasi dari penduduk sebelumnya (biasanya penduduk yang lebih miskin) dari pusat wilayah ke area pinggiran.
Dalam perkembangannya, gentrifikasi diringkas sebagai sebuah bentuk kebijakan perkotaan yang bersifat neoliberal, di mana terjadi arus pergerakan kapital yang disengaja ke dalam kota dengan disertai restrukturisasi industri.
Situasi tersebut menjadi objek empuk eksploitasi oleh para agen dan pengembang yang memandang diri mereka telah berjasa meningkatkan nilai dari tanah dan bangunan di lingkungan itu.