KINI cahaya mulai terlihat di ujung terowongan yang gelap: Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) merupakan wujud serius negara untuk menolak bahkan menghapus kekerasan seksual. Produk hukum ini bagian dari dimensi struktural yang memberi kepastian atas perlindungan kita supaya terbebas dari kekerasan seksual.
Meski begitu, kita tak boleh lengah karena itu saja belum cukup. Bahaya laten dari motif kekerasan seksual yang bahkan sudah mengkristal berabad lamanya masih membayangi, yakni dimensi kultural. Tidak mudah mengontrol otak dan pikiran, tetapi kita bisa memulainya dari diri sendiri dan lingkup terdekat.
Baca juga: Pakar Unair: UU TPKS Disahkan, Laporan Kekerasan Seksual Bisa Tinggi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut menyuarakan betapa pentingnya membentuk regulasi untuk mencegah kekerasan seksual. Salah satunya dia sampaikan dalam pidato dua menit pada 4 Januari 2022 yang diunggah di media sosialnya. Secara tersirat, kata Jokowi, regulasi ini dibutuhkan dan mendesak sebagai wujud sekaligus perlindungan maksimal (negara) terhadap korban kekerasan seksual.
Saya sepakat. Setelah berproses selama enam tahun (sejak 2016) dengan banyak dinamika, regulasi ini akhirnya disahkan pada 12 April 2022. UU itu lengkap mengatur pencegahan, penanganan dan pemulihan, serta kewajiban pemerintah daerah untuk terlibat—di luar kekurangannya yang masih menjadi perdebatan.
PR belum tuntas. Masih ada dimensi kultural yang harusnya menjadi fokus dalam isu kekerasan seksual. Dimensi ini fundamental karena pemahaman atasnya memengaruhi kita untuk melakukan kekerasan seksual. Kita perlu memperbincangkan solusinya supaya penyebab asali kekerasan seksual ini tidak direalisasikan.
Kekerasan seksual, bukan semata karena regulasi, tapi juga budaya patriarki. Selain regulasi yang longgar, juga karena pengetahuan mengenai kedudukan perempuan melalui budaya patriarki atau ajaran agama yang lekat tapi belum dipahami secara komprehensif.
Tak sedikit kasus kekerasan seksual berlandaskan dalih tersebut. Utamanya adalah hegemoni maskulinitas yang memproduksi posisi sosial di mana laki-laki dominan dan perempuan subordinat.
Paling dekat, kerap kita alami dalam lingkup privat (keluarga). Banyak keluarga secara seksual membedakan peran perempuan dan laki-laki, diatur hanya karena perbedaan jenis kelamin. Seolah perempuan dan laki-laki tidak setara untuk mengakses hak-hak tertentu. Laki-laki boleh melakukan A, perempuan tidak boleh, juga sebaliknya. Umumnya ranah perempuan adalah domestik dan laki-laki selain domestik.
Menurut Millet, institusi patriarki paling utama adalah keluarga (Theorising Patriarchy: The Bangladesh Context, 2009). Patriarki melanggengkan ajaran the rule of the father, bahwa otoritas bapak adalah absolut, mutlak tak dapat didebat. Ini menciptakan pola pikir bahwa laki-laki adalah “segalanya”.
Lambat laun menjadi pembenaran bahwa laki-laki lebih berkuasa daripada perempuan, dan dengan mudah bersifat agresif dan intimidatif terhadap perempuan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.