JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik HUkum dan Keamanan Mahfud MD menilai, laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) yang menyebut aplikasi PeduliLindungi melanggar hak asasi manusia (HAM) merupakan hal yang biasa.
Mahfud menuturkan, laporan tersebut hanya didasari oleh laporan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang nama LSM-nya pun tidak disebutkan.
"Mengenai sorotan yg dilontarkan oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat bahwa Indonesia mendapat laporan dugaan pelanggaran HAM dalam menangani Covid melalui program PeduliLindungi, itu tidak apa-apa, itu laporan kan biasa saja," kata Mahfud dalam keterangan video, Sabtu (16/4/2022).
Ia pun mengaku mendapat data serupa dari Special Proceures Mandate Holders (SPMH), kelompok ahli di bawah Dewan HAM PBB, yang menunjukkan jumlah pelanggaran HAM di Amerika Serikat justru lebih besar dibandingkan di Indonesia pada kurun waktu 2018-2021.
"Dalam kurun waktu 2018-2021, Indonesia juga mendapat laporan begitu yang enggak jelas-enggak jelas itu dilaporkan oleh 19 LSM katanya melanggar HAM. Tetapi di kurun waktu yg sama, Amerika justru dilaporkan oleh 76 kasus," kata Mahfud.
Menurut dia, orang yang tidak paham akan menganggap laporan tersebut serius seolah-oleh PBB menyatakan ada pelanggaran HAM berat di Indonesia bahkan akan menginvestigasinya.
Baca juga: AS Sorot PeduliLindungi Langgar HAM, Kemenlu: Apakah Tak Ada Kasus HAM di AS, Serius?
Padahal, kata Mahfud, laporan seperti itu tidak memiliki konsekuensi dan bukan laporan resmi karena siapapun dapat membuat laporan ke SPMH.
"Anda juga buat laporan ke sana lalu diberitahu bahwa ada laporan begitu. Asal Anda tidak capek saja atau asal Anda mungkin bisa dibayar untuk membuat itu, ada yg bayar, itu enggak apa-apa, dibuat saja," ujar Mahfud.
Mahfud menambahkan, dengan menerapkan sistem Peduli Lindungi, Indonesia justru menjadi salah satu negara yang dianggap paling berhasil dalam menangani pandemi Covid-19.