Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekhawatiran di Balik Revisi UU PPP yang Cantumkan Aturan Metode Omnibus

Kompas.com - 16/04/2022, 09:21 WIB
Ardito Ramadhan,
Irfan Maullana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) yang telah dirampungkan oleh DPR dan pemerintah menyisakan sejumlah kekhawatiran di benak masyarakat sipil.

Revisi UU PPP dipandang hanya menjadi alat pemerintah dan DPR untuk melegitimasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Seperti diketahui, UU Cipta Kerja disusun menggunakan metode omnibus, metode yang belum diatur oleh UU PPP yang berlaku saat ini.

Baca juga: Revisi UU PPP Dimulai, Prosesnya Ditargetkan Kelar Sepekan

Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi berpendapat, revisi UU PPP merupakan preseden buruk dalam praktik legislasi karena gagal menyasar perbaikan tata kelola regulasi.

"Secara substansi, revisi UU PPP kontraproduktif dengan upaya menyelesaikan permasalahan tata kelola perundang-undangan di Indonesia," ujar Fajri Nursyamsi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (15/4/2022).

Ia mengungkapkan, pemerintah dan DPR hanya berfokus pada persoalan hiper-regulasi yang terdapat dalam tata kelola regulasi di Indonesia yang dinilai bisa diselesaikan dengan metode omnibus.

Baca juga: Baleg Setujui Revisi UU PPP Dibawa ke Paripurna, Hanya Fraksi PKS yang Menolak

Padahal, ia menilai penggunaan metode omnibus tak menyelesaikan masalah hiper-regulasi tersebut.

"Keberadaan Undang-Undang omnibus tidak dapat mencegah kelahiran regulasi baru dalam jumlah banyak. Belasan peraturan turunan lahir sebagai amanat dari UU Cipta Kerja. Selain itu, UU Cipta Kerja juga tidak mengurangi jumlah Undang-Undang, melainkan hanya mengubah sebagian ketentuan dalam 80 undang-undang lainnya," ujar Fajri.

Untuk itu, PHSK pun mendesak DPR untuk tidak menyetujui revisi UU PPP menjadi Undang-Undang di dalam pembicaran tingkat dua pada rapat paripurna masa sidang mendatang.

Selain itu, PSHK juga meminta DPR dan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan tata kelola pembentukan peraturan perundang-undangan di internal pemerintah.

"PSHK juga meminta pemerintah untuk tidak menjadikan revisi UU PPP sebagai alat untuk melegitimasi UU Cipta Kerja, karena berdasarkan putusan MK, pemerintah seharusnya menyesuaikan UU Cipta Kerja dengan ketentuan dalam UU PPP yang saat ini berlaku dan membahas ulang substansinya," jelas Fajri.

Ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari pun berpendapat, revisi UU PPP tidak sejalan dengan amar putusan MK mengenai UU Cipta Kerja.

Ia menuturkan, putusan mengenai UU Cipta Kerja yang tertuang di dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tidak ada yang memerintahkan perbaikan UU PPP.

Sebaliknya, revisi UU PPP justru termuat di dalam dissenting opinion hakim konstitusi.

"Jadi aneh langkah-langkah pemerintah ini kalau dilihat dari putusan MK 91, poin amar putusan MK ini sama sekali tidak ada yang memerintahkan perbaikan UU PPP. Yang ada perbaikan UU Cipta Kerja," ujar Feri.

Baca juga: Revisi UU PPP Dikhawatirkan Jadi Alat Melegitimasi UU Cipta Kerja

"Kalau pemerintah dan DPR mengikuti disenting opinion artinya melawan amar, karena disenting opinion tidak dianggap sebagai bagian dari amar. Artinya ini tidak sah kalau kemudian UU PPP dibentuk dengan mempertimbangkan disenting opinion," ujar Feri.

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti pun menyoroti proses pembahasan revisi UU PPP yang berlangsung cepat, yakni kurang dari satu pekan.

Revisi UU PPP mulai dibahas pada 7 April 2022 dan persetujuan tingkat satu diputuskan dalam rapat pleno Badan Legislasi DPR pada 13 April 2022.

Bivitri pun menilai ada ironi dalam pembahasan revisi UU PPP karena tidak menerapkan partisipasi masyarakat yang bermakna dalam proses pembahasannya.

"Betapa ironisnya, kalau misalnya revisi UU PPP ini diklaim untuk melaksanakan putusan MK Nomor 91 mengenai UU Ciptaker, tapi sebenarnya tidak menerapkan partisipasi bermakna. Sangat ironis," ujar Bivitri.

Dasar hukum omnibus

Sejak awal proses pembahasan, pemerintah mengakui bahwa salah satu tujuan revisi UU PPP adalah memasukkan norma mengenai metode omnibus sebagai dasar perbaikan UU Cipta Kerja.

"Penyelesaian perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini sebagai dasar tentunya untuk perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam rapat pleno Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 7 April 2022.

Pada saat itu, Airlangga berharap, revisi UU PPP dapat diselesaikan tidak terlalu lama karena ada kebutuhan untuk memulihkan ekonomi yang tertekan akibat perkembangan geopolitik global.

Baca juga: DPR Sahkan Revisi UU PPP, Siap Akomodasi Metode Omnibus Law di UU Cipta Kerja

Dia menyebutkan, dinamika global yang menjadi tantangan pemulihan ekonomi antara lain ketidakpastian akibat pandemi Covid-19, perubahan iklim, normalisasi kebijakan keuangan, disrupsi rantai pasok, serta inflasi akibat konflik Rusia dan Ukraina.

"Oleh karena itu, terobosan diperlukan untuk mendorong investasi, menciptakan lapangan kerja, salah satunya dengan melakukan perubahan UU PPP dan perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja," ujar Airlangga.

"Ini menjadi hal penting dilakukan dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan dihiarapkan dapat memperluas lapangan kerja bagi seluruh masyarakat," imbuh dia.

Sementara itu, saat dihubungi pada Senin (11/4/2022) lalu, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi menyebutkan, revisi UU PPP tidak semata-mata menjadi dasar perbaikan UU Cipta Kerja, tapi untuk pembentukan UU lainnya di masa datang.

Ia pun mengeklaim, norma hukum yang tertuang dalam revisi UU PPP sesuai dengan kebutuhan hukum dan perkembangan sosial politik yang ada di lapangan.

"Kebutuhan hukum itu tidak hanya hari ini, tapi ke depannya, jadi bukan hari ini saja. Sesuatu yang sebelumnya muncul di hari ini, yang di periode lalu belum muncul kan harus diantisipasi juga persoalan hukumnya," kata dia.

Dalam draf yang disusun oleh Baleg, revisi UU PPP mengatur ketentuan bahwa penyusunan rancangan epraturan perundang-undangan dapat menggunakan metode omnibus.

Dalam draf tersebut juga dijelaskan bahwa metode omnibus adalah metode penyusunan peraturan perundang-undangn dengan materi muatan baru atau menambah materi muatan baru mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan, dan/atau mencabut Peraturan Perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama, dengan menggabungkannya ke dalam satu peraturan perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jamaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jamaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Nasional
Ditanya soal Ikut Dorong Pertemuan Megawati-Prabowo, Jokowi Tersenyum lalu Tertawa

Ditanya soal Ikut Dorong Pertemuan Megawati-Prabowo, Jokowi Tersenyum lalu Tertawa

Nasional
Berhaji Tanpa Visa Haji, Risikonya Dilarang Masuk Arab Saudi Selama 10 Tahun

Berhaji Tanpa Visa Haji, Risikonya Dilarang Masuk Arab Saudi Selama 10 Tahun

Nasional
Kuota Haji Terpenuhi, Kemenag Minta Masyarakat Tak Tertipu Tawaran Visa Non-haji

Kuota Haji Terpenuhi, Kemenag Minta Masyarakat Tak Tertipu Tawaran Visa Non-haji

Nasional
Sengketa Pileg, Hakim MK Sindir MU Kalah Telak dari Crystal Palace

Sengketa Pileg, Hakim MK Sindir MU Kalah Telak dari Crystal Palace

Nasional
Wakil Ketua MK Sindir Nasdem-PAN Berselisih di Pilpres, Rebutan Kursi di Pileg

Wakil Ketua MK Sindir Nasdem-PAN Berselisih di Pilpres, Rebutan Kursi di Pileg

Nasional
PDI-P Berada di Dalam atau Luar Pemerintahan, Semua Pihak Harus Saling Menghormati

PDI-P Berada di Dalam atau Luar Pemerintahan, Semua Pihak Harus Saling Menghormati

Nasional
Dua Kali Absen, Gus Muhdlor Akhirnya Penuhi Panggilan KPK

Dua Kali Absen, Gus Muhdlor Akhirnya Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Ganjar Tegaskan Tak Gabung Pemerintahan Prabowo, Hasto: Cermin Sikap PDI-P

Ganjar Tegaskan Tak Gabung Pemerintahan Prabowo, Hasto: Cermin Sikap PDI-P

Nasional
Kelakuan SYL Minta Dibayarkan Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta, Bawahan Kebingungan

Kelakuan SYL Minta Dibayarkan Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta, Bawahan Kebingungan

Nasional
Gibran Siap Berlabuh ke Partai Politik, Golkar Disebut Paling Berpeluang

Gibran Siap Berlabuh ke Partai Politik, Golkar Disebut Paling Berpeluang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com