Menurut majelis hakim, Nazaruddin mengatur pemenangan PT Duta Graha Indah sebagai pelaksana proyek wisma atlet.
Mahkamah Agung kemudian memperberat hukuman Nazaruddin dari 4 tahun 10 bulan menjadi 7 tahun penjara. MA juga menambah hukuman denda untuk Nazaruddin dari Rp 200 juta menjadi Rp 300 juta.
MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang menyatakan Nazaruddin terbukti melanggar Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Kami menilai Nazaruddin terbukti sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 12b Undang-Undang Pemberantasan Tipikor, sesuai dakwaan pertama. Kalau di pengadilan judexfactie dia hanya terbukti menerima suap saja, menurut MA, dia (Nazaruddin) secara aktif melakukan pertemuan-pertemuan," kata Hakim Agung Artidjo Alkostar yang menangani perkara tersebut.
Nazaruddin juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus penerimaan gratifikasi dan pencucian uang. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pun memvonis Nazaruddin bersalah dalam kasus tersebut dan menjatuhi hukuman pidana 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan.
Baca juga: Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin Bebas Murni
Dalam perkara ini, Nazaruddin didakwa menerima gratifikasi dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya untuk sejumlah proyek di sektor pendidikan dan kesehatan, yang jumlahnya mencapai Rp 40,37 miliar.
Saat menerima gratifikasi, ia masih berstatus sebagai anggota DPR RI. Nazar juga merupakan pemilik dan pengendali Anugrah Grup yang berubah nama menjadi Permai Grup.
Nazaruddin juga didakwa melakukan pencucian uang dengan membeli sejumlah saham di berbagai perusahaan yang uangnya diperoleh dari hasil korupsi.
Nazaruddin pun sempat mengungkapkan dia mengetahui 11 kasus korupsi yang menyeret sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Hal itu disampaikan Nazaruddin saat diperiksa KPK sebagai tersangka kasus pencucian uang pada 31 Maret 2013.
Sejumlah proyek yang ia sebutkan antara lain adalah proyek pengadaan KTP elektronik, pesawat Merpati MA-60 serta proyek-proyek pembangunan gedung institusi pemerintah.
"Saya buka bagi-bagi uang di proyek e-KTP, proyek Merpati MA-60 yaitu proyek fiktif yang nilainya hampir Rp 2 triliun, penunjukkan langsung proyek gedung MK (Mahkamah Konstitusi) senilai Rp 300 miliar, gedung diklat (pendidkan dan latihan) MK senilai Rp 200 miliar, saya buka juga proyek pembangunan gedung pajak yang dibagi-bagi 'fee'nya, semua saya buka," ungkap Nazar, dikutip dari Antara.
Baca juga: Bebas Murni, Nazaruddin Ingin Bangun Masjid dan Pesantren
Dari kasus-kasus yang dibeberkan Nazaruddin tersebut, hanya kasus proyek e-KTP yang akhirnya dapat dibongkar oleh KPK hingga terbukti di pengadilan. Proyek e-KTP tersebut merugikan negara senilai Rp 2,3 triliun dan menyeret sejumlah nama sebagai tersangka, termasuk mantan Ketua DPR Setya Novanto.
Setelah Nazaruddin mendekam di Lapas Sukamiskin, Bandung, ternyata hal itu mengungkap hal baru. Pada Desember 2019, Ombudsman RI menemukan sel yang ditempati Nazaruddin lebih luas dari sel tahanan lainnya.
Selain Nazaruddin, mantan Ketua DPR Setya Novanto dan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Djoko Susilo juga menempati sel yang lebih luas.
Anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala saat itu mengatakan sel ketiganya telah mengalami modifikasi sehingga lebih luas dari sel pada umumnya.
"Artinya itu sebenarnya ada 6 sel yang dijebol sehingga menjadi 3 sel. Di sini kan ada soal karena ini adalah cagar budaya," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.