DALAM sebuah webinar yang digelar secara hybrid, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf mengkonstatasi bahwa; "phobia" tumbuh di semua agama.
Darinya, antara lain, lahir istilah kafir. Situasi ini harus dicarikan jalan keluar agar tidak terus menerus menjadi mindset bagi para pemeluk agama.
Nahdlatul Ulama (NU) melihat bahwa idiom kafir dan nonmuslim, tidak lagi relevan di negara modern.
Usia mindset kafir, yang kemudian melahirkan gerakan takfiri, sudah mengendap ratusan tahun lamanya di alam bawah sadar umat beragama.
Pola pikir ini bukan monopoli Kristen vis a vis Islam atau Hindu vs Islam. Ia mendiami ruang terjauh di jantung agama-agama besar dan menjadi identitas.
Ironisnya, ia bisa "dipanggil" kapan saja ke permukaan, untuk kepentingan terkait kebutuhan paling purba; membela kesucian agama.
Sirah panjang agama-agama dalam sejarah modern, sulit dipisahkan dari dinamika politik masyarakat.
Pranata dan infrastruktur sosial yang dibentuk untuk tata kelola masyarakat, juga sering ditunggangi oleh kepentingan politik.
Di mana pun, para penguasa mereduksi sentimen keagamaan demi melindungi reputasi dan kekuasaan.
Kredo ini diadopsi dan diadaptasi oleh para penguasa dari semua agama, baik Islam, Kristen maupun Hindu.
Apa yang disampaikan Gus Yahya--sapaan KH Yahya Cholil Staquf, merupakan perspektif keagamaan yang sudah sangat dia kuasai.
Sebuah paradigma yang dia bangun lewat postulat atas dasar ortodoksi agama dan legitimasi pesan tarikh Islam.
Pemikirannya tentang membangun peradaban manusia, berangkat dari kesadaran yang mendalam soal jatuh bangun sistem pemerintahan Islam. Sebuah relasi magis antara agama dan kuasa.
Untuk batas-batas tertentu, agama dijadikan identitas sebuah rejim ketika merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Para penguasa di dunia Islam, sejak berakhir era Khalifah Rasyidah, membangun dinasti politik, persis yang dilakukan raja-raja di banyak negara.