BELAKANGAN ramai dibicarakan soal klaim big data yang mencapai 100 juta dan menginginkan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 ditunda. Klaim tersebut pertama kali disuarakan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar, pada 27 Februari 2022.
Berikutnya, klaim yang hampir serupa dikemukakan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, dalam acara video podcast Deddy Corbuzier, pada 11 Maret 2022. Setelah itu, klaim tersebut menjadi bahan perbincangan publik.
Banyak pundit politik dan akademisi mempertanyakan klaim tersebut. Mereka umumnya mempertanyakan soal metodologi, antara lain adalah media sosial apa yang jadi objek pengambilan big data, apakah data collection yang dilakukan sudah bersih dari bot, dan apakah sudah terhindar dari bias duplikasi akun (di mana satu orang bisa memiliki lebih dari dua akun).
Baca juga: Klaim Luhut soal Big Data Tunda Pemilu 2024 Dinilai Manipulasi Informasi
Sehubungan dengan media sosial, terdapat tiga media sosial dengan jumlah pengguna tertinggi di Indonesia yaitu Facebook dengan 140 jutaan pengguna, Instagram 90 jutaan pengguna, dan Twitter sekitar 15 jutaan pengguna.
Melihat jumlah pengguna dan mengaitkan dengan klaim Luhut, maka Facebook paling memungkinkan. Namun, saat ini Facebook memiliki aturan yang lebih ketat pasca-insiden kebocoran data Cambridge Analytica yang dimanfaatkan untuk Pilpres AS 2016.
Sebelum membahas lebih dalam, publik perlu memahami perihal big data. Direktur Riset di National Center of Scientific Research Paris, Primavera de Filippi menerangkan big data sebagai sekumpulan data yang diproduksi oleh publik serta hasil dari interaksi yang dapat diperoleh dari berbagai medium seperti media sosial, forum internet, catatan kependudukan, dan sebagainya.
Masih menurut Primavera, pengolahan big data dapat dimanfaatkan baik secara makro, mengetahui tren yang ada di publik dan secara mikro, mengetahui pandangan individu mengenai suatu isu dan perilaku yang akan dilakukannya.
Kembali ke klaim dig data yang diucapkan Luhut. Terdapat beberapa catatan yang penting untuk diperhatikan. Pertama, perihal proses pengumpulan data pribadi. Alangkah baik bila pemerintah memberitahukan kepada publik bagaimana proses pengumpulan data dilakukan. Jangan sampai ada pelanggaran atas privasi data pribadi seseorang.
Data yang dikumpulkan jelas merupakan data pribadi. Di Barat, perlindungan data pribadi menjadi satu hal yang begitu diperhatikan dan tercantum dalam Data Protection Directive 95/46/EC dan Directive 2009/136/EC.
Indonesia sendiri saat ini tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Sementara, aturan yang ada saat ini sebatas Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2016 tentang PDP, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaran Sistem dan Transaksi Elektronik, serta Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang e-Commerce.
Berkaitan dengan klaim big data berjumlah lebih atau sama dengan 100 juta orang, timbul sebuah pertanyaan: Apakah 100 juta orang yang diklaim tersebut sudah dimintai persetujuan (informed consent)?
Kedua, adanya bahaya dari user profiling. Big data memang memiliki potensi luar biasa untuk dapat digunakan demi kepentingan masyarakat umum. Meski demikian, big data juga memiliki kelemahan di mana kesimpulan yang diambil memiliki kadar yang tidak sesuai dengan realitas.
Manusia yang dikonversi sebagai objek data sejatinya berkembang secara dinamis. Dalam logika alogaritma big data, tindakan-tindakan masa lampau seorang individu direkam, kemudian menjadi dasar untuk menempatkan individu dalam kategori tertentu, dan sulit untuk berubah. Fenomena ini juga tidak lepas dari pengaruhi filter bubble.
Baca juga: Tanda Tanya soal Klaim Big Data Cak Imin di Wacana Pemilu Ditunda
Misalnya, seorang individu mengakses informasi yang pro penundaan Pemilu 2024. Alogaritma pasti sudah mencatat tindakan itu. Selanjutnya, alogaritma membuat sebuah gelembung yang memberikan rekomendasi berita-berita seputar isu tersebut.
Segala perilaku yang dilakukan individu itu merupakan data. Kemudian, big data memproses dan membuat kesimpulan.
Tentunya hasil dari kesimpulan big data berpotensi bias. Sistem rekomendasi di era digital saat ini pada akhirnya secara tidak langsung menuntun seseorang berdasarkan data masa lampau individu tersebut.
Ketiga, tidak sebatas melihat publik sebagai data. Berangkat dari klaim yang dilontarkan Luhut, maka ada kesan bahwa masyarakat tidak lebih sekadar data. Untuk sebuah isu krusial, pemerintah perlu mengajak publik terlibat.
Dalam hal ini, pemerintah bisa melihat praktik berdemokrasi yang sudah dilakukan oleh Taiwan. Pemerintah Taiwan pada 2013 membuat sebuah divisi yang diberi nama v-Taiwan. Huruf ‘v’ merupakan singkatan dari virtual, voice, dan vote.
Kemudian, divisi tersebut meluncurkan aplikasi yang diberi nama Pol.is, sebuah aplikasi untuk mengumpulkan aspirasi rakyat.
Masyarakat diberi informasi pro dan kontra atas sebuah isu, dan bisa memberikan pandangan dan sikap mereka. Ketika sudah ada konsensus mencapai 80 persen, barulah pemerintah Taiwan menindaklanjuti dengan membuat kebijakan.
Sebagai penutup, terdapat kutipan pernyataan menarik dari peneliti asal Inggris dari Solent University, Garfield Benjamin (2021), bahwa big data yang umumnya dilakukan oleh kelompok berkuasa, bisa menjelma menjadi alternatif ‘penindasan’ di era digital berkedok pembenaran kuantifikasi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.