“Kalau umpamanya bangsa-bangsa Asia satu per satu mengikuti faham individualisme Amerika dan Eropa... yakinlah bahwa kendati sepuluh, seratus, seribu kali tiap hari dipekikan semboyan kekeluargaan Asia Timur Raya; kendati sepuluh, seratus, seribu kali sehari dipekikan persaudaraan bangsa-bangsa Asia, dengan faham yang salah itu, Asia di dalam tempo tidak lebih dari sepuluh tahun, akan menyala-nyala dengan api peperangan,” papar Soekarno lagi.
Karena itu, Soekarno mohon Rapat Besar BPUPKI 15 Juli 1945 menolak dasar falsafah individualisme dalam rancangan UUD Indonesia merdeka.
“Jikalau kita ingat akan nasib kita sendiri di kelak kemudian hari, ingatlah akan nasib seluruh benua Asia di kelak kemudian hari, nasib seluruh dunia di kelak kemudian hari; saya minta dan menangisi kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah sama sekali faham individualisme itu,” lanjut Soekarno.
Prof Soepomo, SH, Ketua Panitia Kecil Hukum Dasar di bawah pimpinan Soekarno, juga tegas menolak faham individualisme. Misalnya, pada Sidang Panitia Hukum Dasar BPUPKI tanggal 11 Juli tahun 1945 di Jakarta, Prof Soepomo menyatakan, “Jangan menyandarkan negara kita pada aliran perseorangan, akan tetapi pada aliran kekeluargaan, oleh karena menurut pikiran saya, aliran kekeluargaan sesuai dengan sifat ke-Timur-an.”
Drs Moh Hatta, anggota Panitia Hukum Dasar bidang ekonomi pada BPUPKI, juga menyetujui pokok pikiran Soekarno dan Soepomo. “Pokok-pokok yang dikemukakan oleh Syusa Panitia Kecil Perancang Undang-undang Dasar, saya setujui.
Memang kita harus menentang individualisme. Dan saya sendiri boleh dikatakan lebih dari 20 tahun berjuang untuk menentang individualisme. Kita mendirikan negara baru di atas dasar gotong-royong dan hasil usaha bersama,” papar Moh Hatta di depan Rapat Besar BPUPKI 15 Juli 1945 di Jakarta.
Untuk mencegah akar dan bibit konflik-konflik melalui praktek kapitalisme ekonomi liberal laissez faire, laissez passer, para pendiri Negara Kesatuan RI memasukan filosofi kekeluargaan ke dalam sistem kesejahteraan-sosial Negara Kesatuan RI. Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”
Pasal 33 UU 1945, menurut Moh Hatta (Widjaja et al, 2002:229-230), adalah politik perekonomian RI.
Meskipun, dalam satu testimoninya di hadapan Kongres ISEI tanggal 15 Juni tahun 1979 di Jakarta, Hatta menyatakan, “Negara kita berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi politik perekonomian Negara di bawah pengaruh teknokrat kita sekarang sering menyimpang dari dasar itu. Politik liberalisme sering dipakai jadi pedoman.” (Widjaja et al, 2002:233).
Pendiri Negara Kesatuan RI (founding fathers) dan perumus (framers) UUD Indonesia merdeka Agustus tahun 1945 adalah 21 anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/Dokuritu Zyunbi Iin Kai) dan 67 anggota BPUPKI (Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai) yang dibentuk oleh Rigukun (Angkatan Darat Jepang XVI) di Jakarta 29 April tahun 1945.
Kata ‘keadilan’ disebutkan enam kali dalam UUD 1945 hasil perubahan tahun 1999- 2002. UUD 1945 sebelum perubahan tahun 1999-2002 sebanyak tiga kali menyebutkan kata ‘keadilan’ dalam Pembukaan UUD 1945. Perihal ini, pada Rapat Besar BPUPKI 15 Juli 1945, Soekarno sebagai Ketua Panitia Hukum Dasar BPUPKI menyatakan, “Tuan-tuan dan nyonya-nyona yang terhormat. Kita telah menentukan di dalam sidang yang pertama, bahwa kita menyetujui kata "keadilan aosial" dalam Preambule. Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat kepada dasar individualisme.”
Soekarno mengutip Auguste Marie Joseph Jean Léon Jaurès, penulis buku Histoire Socialiste asal Perancis.
“Saya telah menyitir perkataan Jaures yang menggambarkan salahnya liberalisme di zaman itu;...bahwa di dalam liberalisme, maka parlemen menjadi rapat raja-raja; di dalam liberalisme, tiap-tiap wakil yang duduk sebagai anggota di dalam parlemen berkuasa seperti raja?” papar Soekarno di depan rapat itu.
Soekarno juga menolak kebangsaan Indonesia menjadi ‘Indonesia über alles’. Soekarno mengutip Mohandas Karamchand Gandhi, pejuang kemerdekaan bangsa India.
“Gandhi berkata: Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah peri kemanusiaan; my nationalism is humanity.’ Filosofi ini menolak nasionalisme agresif dan chauvinis," kata Soekarno.
Filosofi itu, menurut Soekarno, menuju persaudaraan dan persatuan dunia. Dasar falsafah keadilan sosial disepakati oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 sebagai satu dari tiga dasar diplomasi-internasional Negara Kesatuan RI. Keadilan sosial menjadi falsafah Pemerintah Negara Indonesia melaksanakan tugas yuridis-kenegaraan “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
BPUPKI terdiri dari 60 orang yang dianggap tokoh dan wakil dari seluruh daerah di Indonesia dan tujuh orang anggota berkebangsaan Jepang dan keturunan Indo lainnya tanpa hak suara. Sidang I BPUPKI di Jakarta 29 Mei - 1 Juni 1945 mempersiapkan dasar negara (philosofische grondslag) dan Sidang II 10 Juli – 17 Juli tahun 1945 mempersiapkan hukum dasar tentang bentuk negara, wilayah, warga negara, bentuk pemerintahan, pembelaan Tanah Air, dan tata ekonomi negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.