Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wawan Sobari
Dosen

Dosen bidang politik kreatif;  Ketua Program Studi Magister Ilmu Sosial FISIP Universitas Brawijaya, Malang.

Tantangan Politik Elektoral Milenial

Kompas.com - 25/02/2022, 10:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MILENIAL seperti mantra baru politik elektoral. Populasi besar menjadi modal keyakinan pentingnya generasi yang lahir mulai 1980 itu.

Merujuk Sensus Penduduk 2020, komposisi milenial (ditambah Generasi Z, lahir 1997-2021) mencapai 53,81 persen dari total 270,2 juta warga. Proporsinya meningkat sejak Sensus 1971.

Lebih spesifik lagi, penduduk usia 17-39 tahun pada 2024 diperkirakan mencapai 110.934.265 jiwa (41,06 persen).

Potensi jumlah itu lebih meyakinkan dengan mengenali karakter milenial nusantara. Survei Alvara (2017) mengungkap tiga watak utama, yaitu terkoneksi, kreatif, dan percaya diri.

Temuan riset lainnya menunjukkan sisi positif milenial yang beradaptasi dengan teknologi informasi, gawai, media sosial, dan berkarakter inovatif dan kompetitif.

Survei Nasional Kompas yang dirilis 23 Februari 2022 lalu menemukan konsistensi dukungan milenial terhadap tiga figur.

Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan memiliki elektabilitas konsisten dalam rencana pilihan milenial dalam empat periode survei.

Jika dibandingkan survei sebelumnya (Oktober 2021), keterpilihan Prabowo naik 5,8 persen, Ganjar bertambah 5,5 persen dan Anies meningkat 7,2 persen di kalangan Gen Y dan Z.

Catatannya, sudut pandang agen yang berpusat pada diri milenial merupakan kenaifan. Dalam sistem politik, milenial tidak bekerja dalam isolasi. Faktor-faktor di luar milenial juga bisa memengaruhi arah politik elektoralnya.

Tiga tantangan

Ada tiga tantangan utama bagi kekuatan politik elektoral milenial. Pertama, tantangan yang berasal dari karakter politik milenial sendiri.

Survei CSIS (2017) menyimpulkan aspirasi, harapan, dan persepsi generasi milenial relatif sama dengan non-milenial. Pun, efek politik dan ekonomi milenial belum terlalu kuat.

Survei Indikator (Maret 2021) mengungkap kesimpulan berbeda mengenai karakter politik Generasi Z (17-21 tahun).

Secara umum, mereka mengerti dan bisa memberikan suaranya tentang isu-isu sosial politik bangsa.

Mereka mampu menunjukkan sikap yang jelas terkait berbagai isu publik. Generasi Z juga cukup terlibat dalam isu-isu politik secara daring.

Survei terbaru oleh Indopol (Nopember 2021) mengungkap temuan menarik tentang perilaku milenial dan Generasi Z terhadap politik uang.

Sebanyak 37,4 persen responden menolak dengan alasan. Sedangkan responden yang menerima dengan segala alasan sebesar 24,8 persen. Menariknya, responden yang tidak menjawab/tidak tahu lebih besar (37,8 persen).

Hasil survei yang relatif beragam tersebut menunjukkan karakter politik milenial belum cukup meyakinkan sebagai kekuatan kontestasi elektoral.

Kedua, demokrasi merupakan faktor penting bagi eksistensi politik milenial. Survei Indikator menunjukkan opini anak muda terhadap situasi demokrasi. Mayoritas (52,8 persen) merasa sangat/cukup puas terhadap pelaksanaan demokrasi.

Meskipun angka tersebut relatif sama dengan opini non-kaum muda, namun mereka tetap kritis.

Hanya 15,5 persen responden yang mengevaluasi Indonesia lebih demokratis. Sebagian besar (75,7 persen) menilai demokrasi mengalami kemunduran dan stagnan.

Di balik kesadaran kritis tersebut, politik milenial penting mempertimbangkan bahwa perkembangan demokrasi masih berpusat pada negara.

Analisis perkembangan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2009-2020 menunjukkan dominasi kontribusi negara.

Perkembangan IDI juga menunjukkan disparitas kemajuan demokrasi antarwilayah yang harus dihadapi kaum muda.

Ketiga, politik elektoral kaum muda mendapat tantangan kekuatan dan praktik politik oligarkis.

Menurut hasil studi sejumlah indonesianist (Pepinsky dkk, 2013), terdapat lima jalur bekerjanya oligarki.

Pertama, penataan aturan elektoral yang memungkinkan oligarki bekerja efektif. Kedua, kesolidan kekuatan rezim sebelum demokrasi dan memegang kekuasaan pada era demokrasi.

Jalur ketiga melalui peran politisi ulung yang menentukan arena politik dengan kemampuan menciptakan, memobilisasi, dan menyebarkan kekuatan politik.

Keempat, politik oligarki bekerja efektif karena situasi kesenjangan material dan kekuatan oposisi yang lemah dan terfragmentasi.

Terakhir, oligarki menjadikan kebijakan sebagai objek kompetisi politik, bukan semata perdebatan pilihan kebijakan berbasis bukti.

Dua determinan struktural (di luar) milenial tentunya bukan tantangan mudah bagi efektifitas politik elektoral mereka.

Perkembangan demokrasi yang bertumpu pada kekuatan negara justru berisiko membuka jalan oligarki bekerja.

Secara bersamaan, para pemilih muda sulit menuntut akuntabilitas pemerintah terpilih dalam kontrol kekuatan oligarkis.

Jebakan narasi

Perbedaan tajam antara milenial dan non-milenial nampak dalam konsumsi dan aktivitas media sosial dan daring.

Survei CSIS mengungkap milenial lebih mempunyai akses dan nyaman terhadap media sosial. Juga, 54,3 persen milenial setiap hari membaca media daring. Akses media itu jauh lebih besar dari non-milenial (11,9 persen).

Survei Indikator menemukan anak muda cukup terlibat dalam isu-isu politik secara daring.

Setali tiga uang, survei Indopol mencatat mayoritas anak muda (54,72 persen) mengutip media daring sebagai sumber informasi.

Keakraban kaum muda dengan media daring dan sosial sejalan dengan arah politik masa depan yang dipengaruhi sistem digital.

Namun, perilaku konsumsi media itu bukan tanpa risiko. Berita yang dibaca, dibagikan, dan dipersepsi tidak lepas dari praktik konstruksi.

Ada kemungkinan upaya-upaya sengaja membingkai realitas politik yang menguntungkan kekuatan tertentu.

Oligarki dengan kekuatan materilnya mampu membangun narasi yang bisa memecah kekuatan politik elektoral milenial.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran, karena bisa menggiring perilaku memilih yang mengandalkan narasi manipulatif.

Revisi teori perilaku memilih menjelaskan suara individu saat pemilu tak lagi mengikuti keputusan rasional objektif.

Para pemilih justru mengikuti pilihan informasi, menyederhanakan pengambilan keputusan, lalu mencari pembenaran (keputusan pilihan) tanpa membandingkan beragam opsi kandidat/partai (Gabriel, 2020).

Jebakan narasi yang beredar dalam media daring dan sosial menjadi tantangan lain yang harus dihadapi milenial.

Karenanya, pandangan interaksionis atas politik elektoral milenial lebih realistis. Tidak percaya diri berlebihan, tetap mewaspadai kekuatan politik di luar milenial.

Sebagai bekal, idealisme, soliditas dan kreatifitas politik milenial merupakan alternatif terhadap lemahnya kuasa rakyat atas demokrasi dan politik oligarki.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com